Dan hingga sejauh ini, dalam berkegiatan tersebut selalu memakai slogan Pecinta Alam. Tetapi hanyalah sebatas itu, hanya menjadi slogan belaka, menikmati alam untuk dirinya sendiri, puas demi ego pribadi.
Pecinta Alam ( baca: mereka yang menamakan diri sebagai Pecinta Alam ) sering kali melakukan banyak aktivitas yang justru mengganggu keseimbangan alam.
Menjelajah gunung dan membuat jejak - jejak disana, mencoret batu - batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat, membuat api unggun yang seringkali lupa dimatikan, memetik Edelweis hingga beratus - ratus tangkai.
Rasanya bangga sekali bila berhasil “menaklukkan” puncak - puncak tertinggi. Memang, rasanya damai sekali di tengah kesunyian alam, menikmati keindahan kota nun jauh disana yang tertutup sebagian kabut, menyaksikan keajaiban sunrise dan sunset kala cuaca bersahabat. Dengan apapun, itu tak akan pernah bisa tergantikan.
Justru yang sangat membuat jadi mengganggu, seringkali di perjalanan menuju puncak banyak sampah berserakan.
Tentunya, ini adalah sampah yang dibawa oleh para pendaki karena sebagian besar makanan yang dibawa khas sekali. Sampai di puncak?.
Bebatuan yang semestinya terlihat asri dan indah penuh coretan. Untuk apa? Sialnya coretan - coretan itu seringkali membawa nama sekolah, nama kampus yang notabene lebih ‘terpelajar’ dari pada para pendaki liar.
Suatu saat, kita sering merasa malu, dalam pendakian bertemu dengan pendaki dari mancanegara. Dengan sebuah kantong besar, mereka menuruni gunung sambil memunguti aneka macam sampah yang terserak.
Wah, rasanya kita tak punya muka lagi untuk menatap mereka. Tentu, bukan karena sampah yang mereka pungut adalah sampah kita, melainkan karena kepedulian mereka akan alam.
Sementara, para pendaki lokal yang ( seharusnya ) memiliki kesadaran lebih, justru mengabaikannya.
Sebuah organisasi Pecinta Alam ( yang biasanya ngetren di kalangan mahasiswa ) seharusnya bukan sekadar sebuah tempat bernaung bagi mereka yang senang bertualang saja atau menghabiskan anggaran dana di kampus.
Ironis membayangkan mereka melakukan pendakian besar - besaran yang menelan biaya tinggi sampai ke luar negeri, sementara, di negeri sendiri, negeri yang ( seharusnya ) elok dan kaya akan hutan tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya.
Pencurian kayu, pembabatan hutan secara liar luput dari penyelamatan sang ‘pecinta alam’ Pecinta Alam.
Dalam konteks bahasa, pecinta alam adalah seseorang yang sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan banyak hal untuk sesuatu / seseorang yang dicintai.
Mencoba membahagiakan sesuatu / seseorang yang kita cintai dengan tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu / seseorang yang dicintai merasa nyaman. Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun, Mencintai itu sesuatu yang tulus, tanpa pamrih.
Mencintai Alam, sama halnya dengan melakukan banyak hal untuk alam, tanpa syarat - syarat khusus, tanpa dibarengi rasa keegoisan untuk memiliki alam secara individual, tanpa mengabaikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh alam.
Semua harus dilakukan tanpa pamrih, pamrih untuk dimunculkan di media massa, tanpa pamrih di puji banyak pihak, tanpa pamrih untuk mendapat dukungan dana berlebih yang pada akhirnya digunakan entah kemana.
Mencintai alam, mencintai wujud ciptan - Nya, mengasihi setiap apa yang ada di dalamnya. Memulai dari hal kecil di sekitar kita. Meski kecil, andai setiap orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti.
Apabila kita suka dengan kegiatan alam bebas, tetapi kita masih berperilaku jahat dengan alam yang kita kunjungi, sementara di jaket kita terpampang lambang pecinta alam, lebih baik buanglah jaket pecinta alammu
ARTIKEL TERKAIT: