Gelegar maha dahsyat pun membahana yang mengungkapkan amarahnya pada lima hari kemudian. Berikut ini fakta sejarah terkait dengan erupsi Tambora :
1. Erupsi Terdahsyat dalam Ingatan Manusia
Letusan Tambora telah dikenang sebagai erupsi terdahsyat dalam sejarah ingatan manusia. Tambora setidaknya telah memuntahkan abu dan batuan piroklastik sebanyak seratus kilometer kubik!
Lebih dahsyat ketimbang Krakatoa yang melampiaskan isi perutnya hampir 20 kilometer kubik, atau Huaynaputina yang memuntahkan 30 kilometer kubik.
Bahkan Vesuvius dan Pinatubo sekadar memuntahkan jeroannya kurang dari sepuluh kilometer kubik.
2. Tumbal Terbanyak
Dari 12.000 warga yang mendiami pinggang Tambora, nyaris seluruhnya binasa dalam sehari pada letusan pertamanya, terempas abu vulkanik dan aliran piroklastik.
Dari jumlah tersebut, hanya 26 yang selamat. Korban untuk Pulau Sumbawa dan Lombok sekitar 92.000 orang. Mereka tewas karena berbagai penyakit dan kekurangan pangan.
Sementara, letusan Krakatau “hanya” membinasakan sekitar 36.600 orang. Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii dan Kota Herculaneum pun “hanya” membinasakan kurang dari 20.000 orang.
3. Badan Hilang Sepertiga
Sebelum erupsi 1815, Gunung Tambora berbentuk kerucut vulkanik tinggi atau stratovulcano. Betapa spektakuler erupsi Tambora karena telah memangkas tinggi gunung tersebut menjadi 2.851 meter, yang awalnya sekitar 4.000 meter.
4. Semua Keliru Menerka
Gelegar Tambora telah menimbulkan gelombang kegaduhan dan keheranan. Raffles mengira suara gemuruh yang didengarnya di Bogor merupakan suara tembakan meriam dari jarak jauh.
Soal gemuruh dan bencana abu, warga Gresik memiliki interpretasi yang unik.
Mereka yakin bahwa suara gemuruh dan kelabunya langit lantaran Nyi Loro Kidul, yang berkuasa di pantai selatan Jawa, tengah menyelenggarakan pesta pernikahan salah satu anaknya.
Dalam kesempatan itu, menurut mereka, meriam - meriam gaib ditembakkan. Warga Gresik memaknai abu yang menjatuhi kotanya sebagai ampas dari amunisi supranatural tersebut.
Gemuruh yang sama juga menggemparkan warga Bengkulu, sekitar 2.600 kilometer dari pusat ledakan! Salah seorang tetua adat mengatakan bahwa suara itu merupakan sebuah “pertunjukan antara skuadron jin dan para arwah leluhur warga yang sedang menuju ke nirwana.”
5. Terekam Catatan Warga Setempat
“Hijrat Nabi salla’llahi ‘alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal…
Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah kersik batu dan abu seperti dituang, lamanya tiga hari dua malam...” demikian naskah Bo’ Sangaji Kai, yang merupakan catatan Kerajaan Bima.
Sementara naskah semasa asal Makassar memerikan, “...Tambora pun menyala. Sampai berapa-berapa hari menyala api digunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu... berapa - berapa ribu orang mati terbakar itu.”
6. Memerahkan Salju Eropa
“Salju terlebat yang pernah dikenal di negara itu, turun di Terrano, Italia, pada 31 Desember,” demikian berita Niles’ Weekley Register yang terbit pada Sabtu, 18 Mei 1816.
“Salju itu berwarna merah dan kuning! Fenomena itu menimbulkan kehebohan karena ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.” Pada saat itu semua orang belum menyadari penyebab memerahnya salju Eropa.
7. Kemunculan Novel “Frankenstein”
Bencana musim dingin dengan kilat yang menyambar - nyambar itu telah menginspirasi Mary Wollstonecraft Shelley.
Kala itu dia tengah melancong ke Jenewa dalam liburan musim panas, Mei 1816. Dalam pelancongannya, Mary menggubah sebuah novel fiksi ilmiah dan berbumbu horor berjudul Frankenstein; or, The Modern Prometheus.
Karya itu terbit dalam tiga jilid di London pada 1818. Kesohoran kisah itu telah menginspirasi film - film horor pada abad berikutnya dan melegenda hingga kini—berkah bencana.
Seperti orang - orang Eropa semasanya, tak satu pun yang tahu mengapa musim panas telah menghilang pada tahun itu.
8. Peneliti Pertama Tambora
Heinrich Zollinger, yang merupakan ahli botani asal Swiss, merupakan peneliti pertama yang berjejak di Tambora pascaletusan dahsyat.
Zollinger menyambanginya pada 1847 atau 32 tahun setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia.
Dia mendaki dan memanjat reruntuhan tebing ketika Tambora masih hangat berselimut kepulan asap yang menyeruak ke angkasa.
9. Saksi Perupa di Eropa
Lukisan para pelukis Eropa yang dibuat dalam periode singkat setelah masa erupsi Tambora menunjukkan warna matahari terbenam yang lebih kuning, lebih merah atau lebih oranye.
Warna tersebut disebabkan kandungan debu yang tebal dalam atmosfer. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa peristiwa yang sama juga direkam oleh para pelukis Eropa tatkala Krakatau bererupsi pada 1883.
10. Kaitan Gunung Api dan Cuaca
Pelajaran erupsi mahadahsyat yang dilampiaskan Tambora telah menyadarkan manusia bahwa terdapat pertalian antara aktivitas vulkanik dan perubahan cuaca.
Pada 1816, kawasan Eropa terancam kekurangan pangan karena ternak dan tanaman binasa.
Pada masa yang sama, suhu tak menentu di kawasan Amerika belahan utara yang dilanda suhu panas dan dingin.
Sementara, Amerika bagian timur laut justru dilanda suhu dingin yang mencekam. Burung - burung liar bermigrasi dan menghuni rumah - rumah.
Petani menderita kegagalan panen tanaman pangan dan sayuran, pasokan makanan. Para tukang batu menghentikan pekerjaan mereka lantaran adonan semen membeku.
Dunia mengenang fenomena cuaca aneh pada 1816 dengan sebutan: "Year Without A Summer"—Tahun Tanpa Musim Panas.
Dampak Tambora telah mengingatkan kita tentang dera bencana gempa Bumi dan tsunami di negeri untaian gunung berapi ini.
Bagi Indonesia, bencana bukanlah sekadar masa lalu, tetapi juga kehidupan kini dan kelak. Kini, Tambora telah terlelap dalam istirahat yang panjang setelah letusan terakhirnya pada 1967.
Berdasar sejarah erupsi Tambora, periode erupsi gunung tersebut berkisar antara 3 hingga 89 tahun. NG
ARTIKEL TERKAIT: