Marwan —bukan nama sebenarnya— pemuda dari Dusun Daya Rurung Barat, Desa Sembalun Bumbung, sebelumnya pemabuk, pencandu ganja dan obat - obatan terlarang. ”Saya melakukan apa saja untuk membeli obat,” kata dia.
Di telaga air panas hulu Sungai Kokok Putih, siang itu, dia berjanji menghentikan segala perbuatan buruknya di masa lalu. Perjalanan menapak Gunung Rinjani baginya seperti titik balik untuk memulai hidup baru.
Janji yang sama diikrarkan Maimun, bukan nama sebenarnya. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Mataram ini menyesali perbuatannya keluyuran dan mabuk - mabukan. ”Sekarang saya ingin berbuat baik kepada sesama karena hidup ini hanya sebentar,” ujarnya.
Keresahan dalam bentuk lain dialami Fulan — juga bukan nama sebenarnya — yang kemudian memutuskan ikut dengan Haji Purnipa mendaki Rinjani. Dia merasa hidupnya tidak tenang meski berkecukupan secara materi. Jiwa mantan kepala sekolah salah satu Tsanawiyah di Lombok ini terombang - ambing. ”Saya biasa berdakwah. Menguasai ayat - ayat Al Quran dan hadis, tetapi semua itu hanya kulitnya,” ujarnya.
Ia mengaku pernah membuat proposal kegiatan yang sebagian uangnya digunakan untuk keperluan pribadi. ”Saya menyesal dan ingin berubah,” ujarnya.
Anak bungsunya, Muhammad Saidi, juga dimandikan di telaga itu. Siang itu Saidi merupakan salah satu dari 11 pemuda yang berendam di hulu Kokok Putih. Baru dua tahun ini Saidi tergugah mencari jati diri. Sebelumnya, pemuda yang pernah menjadi wartawan di media lokal di Lombok ini juga mengaku sebagai tukang berkelahi dan mabuk.
”Sampai dua tahun lalu, ayah saya tidak mau mengakui saya sebagai anak,” kenang Saidi. Dia seperti anak ayam kehilangan induk. Saidi lalu meminta maaf. Purnipa pun membawanya ke Gunung Rinjani. Sudah dua tahun ini Saidi meninggalkan kebiasaan buruknya.
Purnipa telah dua kali naik Haji ke Tanah Suci di Mekkah, yaitu tahun 1979 dan 1990. Dia tokoh agama sekaligus pemangku gunung dalam masyarakat adat di Sembalun. Untuk ”penyucian”, dia memilih pergi ke Gunung Rinjani. ”Gunung adalah tempat suci, nabi - nabi menerima wahyu juga di gunung,” kata Purnipa.
Di hening Gunung Rinjani, menurut Purnipa, manusia bisa lebih mendekatkan diri kepada alam. ”Di sini kami belajar mendengar suara alam. Kami mendengar dan menghargai suara rumput dan semut, dan akhirnya menyadari banyak yang hidup selain kita manusia,” katanya.
Rinjani ibarat gunung suci bagi masyarakat adat Sasak yang tecermin dari posisi penting gunung ini dalam siklus hidup mulai dari kelahiran, sunatan, pernikahan, pengobatan, hingga kematian.
Masyarakat adat Sasak percaya arwah orang meninggal akan bersemayam di Gunung Rinjani, berkumpul dengan leluhur yang telah mendahuluinya. Di awal upacara Gawe Pati atau ritual kematian, pemangku adat meminta izin arwah leluhur di Gunung Rinjani agar orang yang baru meninggal itu bisa diterima di antara mereka.
SUKU SASAK dan RINJANI
Keterikatan warga Sasak terhadap Rinjani juga tecermin dalam arsitektur rumah. Di kampung adat Senaru, misalnya, semua rumah menghadap ke arah Gunung Rinjani. Atap ilalang juga merupakan bentuk hormat kepada Gunung Rinjani dan para penghuninya. Masyarakat asli Sasak hanya menggunakan ilalang yang tumbuh di padang rumput sebagai atap rumah mereka. Sirap, tanaman penyimpan air yang tumbuh di hutan Rinjani, tabu digunakan.
Rumah Tradisional Sasak |
Di rumah pemuka adat, biasanya terpampang ukiran kayu yang mengisahkan tentang seorang lelaki dan perempuan yang duduk bersila ditemani naga dan tokek. Naga bermahkota menyimbolkan makhluk penunggu Gunung Rinjani. Adapun tokek dan bintang menyimbolkan acara pembacaan lontar suci harus dilakukan pada malam hari.
Tidak hanya itu, ada beberapa naskah lontar yang menunjukkan kedekatan manusia Sasak dan gunung Rinjani. Misalnya, naskah lontar ”Bangbaris” yang menceritakan perjalanan Raden Irman ke puncak gunung yang diyakini sebagai Gunung Rinjani.
Suku Sasak |
Lebih dari sekadar simbol, menurut Purnipa, pendakian ke Gunung Rinjani juga bagian dari prosesi menempa diri. Daya tahan, kesabaran, dan niat baik diuji dalam pendakian. Selama pendakian, Purnipa juga mengajarkan kesederhanaan. Anak - anak muda itu tidur berselimut terpal dalam cuaca dingin. Mereka minum air danau dan makan sederhana selama berhari - hari. source
ARTIKEL TERKAIT: