Aku bukan sekedar mendaki lalu turun dengan keletihan, di sana aku menemukan diriku. Aku seperti pulang ke pelukan
seorang “ibu”, disana aku bisa berbagi semua isi kepenatan rutinitas yang
kujalani, disana aku bisa menangis terharu, disana aku bisa bebas teriak,
disana aku bisa berharap.
Tanah yang kutapaki adalah rahim “ibuku”. Manusia berasal
dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tegakah diri ini mengotorinya? Tegakah
melihat generasi selanjutnya yang keluar dari rahim “ibu” adalah generasi yang
kotor? Karena aku bukan sekedar mendaki lalu turun dengan keletihan saja, maka
ku bersihkan semampuku jika aku mengunjungi “ibuku”.
Pohon - pohon disana adalah “jantung”. Jantung tempat
darah - darah ini dipompakan dan dialirkan, sehingga aku rindu untuk terus
mengunjunginya kembali ketika melihat denyut hijaunya. Apa jadinya bila aku
hidup tanpa jantung.
Masih adakah yang tega menyakitinya atau bahkan
menghilangkannya? Mereka ada untuk kita dan tugas kita adalah merawatnya. Sapalah
mereka dengan hati maka kita akan selalu disambut dengan ramah ketika
mengunjunginya lagi.
Udara adalah darah ketika kita disana. “darah” yang terus
mengalir setiap detik, “darah” yang terus keluar masuk dalam menemani
perjalananku disana. Begitu segar, begitu bersih dan begitu ikhlas diberikan
kepada kita. Biarkanlah agar tetap seperti itu, biar tetap mengalir dalam tubuh
ini.
Tetapi aku tidak setiap saat mengunjungi “ibuku” , rutinitasku
di kota di belantara baja. Namun “ibuku” tetap terus ada disekitarku. Mengingatkanku agar terus seperti itu, menyuruhku untuk terus melakukan hal - hal kecil bukti
cinta dan sayangku padanya.
Tanah ini Rahim. Pohon - pohon ini jantung, dan Udara ini darah. Dan Gunung adalah “Ibuku” Ivan Setyanto
ARTIKEL TERKAIT: