Untuk pesawat udara biasanya trayek yang dilalui adalah Makassar - Ternate atau Manado - Ternate. Saat melakukan pendakian penulis terpaksa harus melalui jalur laut dari manado ke ternate karena bandara Sultan Baabulah tertutup abu letusan setebal 10 cm.
Untuk melakukan pendakian ke Gunung Gamalama ( 1715 m dpl ), kita harus menuju desa Moya ( 200 mdpl ). Ada cukup banyak angkutan yang menuju desa tersebut dari dari terminal / pasar Gamalama, perjalanan menuju Moya memerlukan waktu 30 menit dengan tarif per orang Rp.1200.
Sebenarnya ada beberapa jalur lain menuju puncak yaitu via malikurubu ,akehuda, dll, tapi berdasarkan informasi yang didapat Moya merupakan jalur termudah walaupun sedikit lama.
Perjalanan
Moya – POS I
Setelah melapor pada Bp.Djamaludin ( Penjaga Gunung ) dan mendapat izin maka pendakian pun dimulai tepat jam 06:00 WIT, medan yang dilalui masih berupa kebun cengkeh dan pala. Kondisi jalan masih cukup mudah untuk dilalui dengan kemiringan 15 - 45 derajat, beberapa kali melipir tebing dan menyebrang bekas sungai yang sudah kering.
Setelah 1.5 jam perjalanan dan beberapa kali salah jalan ( maklum jalan sendirian ) akhirnya penulis sampai di hutan bambu yang menurut keterangan adalah POS I. Disini dapat ditemukan sebuah rumah dari bambu yang sering digunakan oleh warga apabila kemalaman dihutan. Dari sini kita dapat melihat ke bawah dengan jelas, tampak jelas P. Maitara dengan latar belakan Gunung Kiematubo.
POS I – POS II ( Mata Air Abras )
Perjalanan dilanjutkan menuju POS II, kondisi medan mulai tertutup. Pada etape ini kontur jalan mulai turun-naik melipir punggungan gunung. Menurut keterangan penduduk dari Moya-Puncak ada kurang lebih 7 punggungan yg dilalui. Rute yg dilalui seolah-olah mengitari Gunung dari arah kiri. Dalam perjalanan kita akan melalui sebuah aliran sungai yang sudah kering. Perjalanan menuju POS II memakan waktu kurang lebih 1 jam.
POS II – POS III ( Puncak Palsu )
Di POS II ini jalan bercabang menjadi 3, yang pertama menanjak ke kanan menuju puncak, yang kedua menurun ke kiri menuju desa Malikurubu, sementara yang lurus menuju mata air abras. Mata air ini oleh penduduk setempat diibaratkan sebagai air zam - zam, karena bagi mereka mendaki G. Gamalama sama dengan naik haji ( ini mirip dengan Gunung Bawakaraeng di Sulsel ).
Di tempat ini pulalah artis Dorce Gamalama pernah bermalam pada saat melakukan pendakian. Informasi yang didapat beliau mendaki ditemani kurang lebih 150 warga desa. Kira - kira 10 menit dari POS II ini kita akan melalui `terowongan alam’ berupa hutan bambu dengan ketinggian 1.5 m.
Yang menyulitkan adalah bambu - bambu tsb tidak tumbuh ke atas melainkan melintang menutupi jalan. Kondisi terowongan tsb saat ini tidak terlalu sulit dilalui karena sering dilakukan pembersihan jalur oleh para pendaki dan warga setempat.
Dahulu untuk melewati terowongan sepanjang 1 km tsb para pendaki harus berjalan jongkok, bahkan di beberapa tempat harus tiarap. Ditengah perjalanan kita akan sampai di suatu tempat yang agak terbuka dari sini Puncak G. Gamalama terlihat dengan jelas dihadapan kita.
Di tempat ini penulis bertemu dengan seorang warga desa yang sedang melakukan `prosesi ritual’, menurut beliau bagi orang yang `bisa melihat’ tempat ini merupakan pintu gerbang ke `alam lain’. Selanjutnya kondisi medan mulai berubah menjadi batuan bekas muntahan lahar. Kita harus terus mengikuti alur batu - batuan menuju puncak ( palsu ) di sebelah kiri. Lama perjalan dari POS II kurang lebih 1 jam.
POS III – Puncak
Di Puncak Palsu ini kita akan menemui 7 buah kuburan yang sering di ziarahi oleh warga setempat. Tidak didapat informasi yang jelas tentang siapa yang dikuburkan di sini. Dari sini pemandangan ke arah Timur sangat indah, tidak berapa jauh tampak Puncak Kiematubo yang ditutupi awan.
Perjalanan di lanjutkan menuju Puncak, dari tempat ini kita harus turun dulu kearah lembah baru kemudian naik kembali dari dari sisi sebelah kiri. Kondisi medan berupa batuan lahar yang masih panas dan labil, asap yang keluar terus - menerus dari batu - batu tsb membuat kita harus berhati - hati.
Perjalanan menuju puncak kurang lebih 1 jam. Kondisi Puncak yang selalu ditutupi uap belerang dari kawah ditambah angin yang sangat keras memaksa kita untuk tidak berlama - lama. Di Puncak sebelah kanan dapat kita temui batu sebesar Pos Satpam yang sering dijadikan tempat untuk berfoto.
Untuk turun kembali ke desa Moya hanya dibutuhkan waktu sekitar 3 jam. Selama pendakian hanya dijumpai 1 mata air. Tidak terlihat adanya tanda-tanda binatang buas. Makanan maupun minuman sebaiknya disiapkan dari kota Ternate, hanya ada 1 warung kecil di desa Moya yang tidak begitu lengkap.
Ada beberapa tempat menarik yang bisa dilihat di P. Ternate antara lain :
-Benteng Kalumata : Benteng pertahanan yg terletak di pinggir pantai.
-Cengkeh Afo : Pohon cengkeh berusia 600 th yg merupakan cengkeh tertua didunia ( sayang sekali saat ini pohon tsb sudah mati ).
-Sulamadaha : Tempat yang bagus untuk snorkling.
-Tolire Lamo : Danau Besar yg menurut legenda masyarakat setempat adalah desa yang tenggelam.
-Batu angus : Batuan hitam di dekat pantai yang merupakan sisa letusan Gunung Gamalama th 1968.
-Keraton Sultan Ternate : Di dalamnya ada mahkota kerajaan yg ditumbuhi rambut yang setiap hari bertambah panjang ( sayang tidak boleh dilihat umum, menurut informasi baru boleh dilihat pada saat upacara pemotongan yaitu 1 th sekali ).
ARTIKEL TERKAIT: