Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 ( 1938 ) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa ( lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa dan Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaannya, Gadjahmada Univ. Press ). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang
Mitologi Gunung Merapi.
Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Keraton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.
Jagat alit, yang mengurai proses awal - akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya ( Sangkan Paraning dumadi ).
Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya ( Manunggalaing Kawula Gusti ).
Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar.
Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup ( Manungggaling Kawula Gusti ).
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.
Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Keraton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil.
Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" ( satunya kata dan perbuatan ) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut.
Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu.
Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Keraton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana - mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut.
Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram ( 1575-1601 ). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" ( telur dunia ) untuk dimakan.
Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. ( Marijan 1996, wawancara )
Labuhan Dan Selamatan
Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul ( di Samodera Indonesia ) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram ( Yogyakarta dan Surakarta ) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran.
Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : Gunung Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang - barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.
Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini.
Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan.
Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh ( di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur ); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah - tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing - masing dusun.
Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat.
Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan / diikuti oleh kaum laki - laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.
Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar ( dingin atau panas ) dari Gunung Merapi.
Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda - tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun.
Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara - suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Keraton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Keraton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah - langkah pengamanan dan penyelamatan.
Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.
Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah - kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal ( menyimpang ) dari kaedah - kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.
ARTIKEL TERKAIT: