Gaya Hidup Dengan Mendaki Gunung

Gaya Hidup Dengan Mendaki Gunung dilakukan oleh seorang Fotografer asal Kanada, Patrick Alan Morrow atau yang biasa disapa Pat ini. Sekilas tampangnya memang tidak menunjukkan seorang pendaki yang memiliki reputasi. Wajahnya bersih tidak ditumbuhi brewok dan janggut seperti kebanyakan pendaki terkenal. Dia pendiam dan tidak berkesan angkuh. Padahal dengan dedikasinya, jarang ada pendaki internasional yang tidak kenal namanya.


Kecintaan pada gunung dan alam terbuka membuat Patrick Alan Morrow, lelaki Kanada ini, tidak bimbang memilih udara petualangan sebagai jalan hidup. Sosoknya sedikit unik bila melihat kenyataan jarang ada orang mendapat rezeki di atas rata - rata dari kegiatan “bertetangga dengan maut” ini. Biasanya dia memotret untuk Equinox, majalah sains dan alam terbuka terbitan Kanada. Tapi tulisan dan foto - foto karyanya juga sering muncul menghiasi beberapa majalah luar negeri. Seperti Action Asia ( Hongkong ), Yama-kei ( Jepang ), Geo ( Australia ), Climbing, Outside ( AS ), Montana dan lain - lain.

Pat Morrow menjalani masa kanak - kanak di British Columbia, Kanada. Sebuah daerah bergunung-gunung yang dulunya homeland suku Indian Kootenay. Di waktu luang, ayahnya sering mengajak Pat mancing dan berburu. Rumah mereka berada di pegunungan sehingga tiap kali keluar rumah mereka harus hiking menyusuri jalan setapak. “Di masa - masa itu saya mulai belajar bagaimana jalan di gunung, tapi belum untuk mendaki,” katanya.

Rasa ingin tahunya yang besar sebagai seorang anak terpuaskan dengan berada di luar rumah. Hal itu membuatnya gembira. Udara pegunungan yang bersih, bau tanah, harum bunga - bunga liar di tepi hutan, serta kemilau keperakan dari lidah salju di lereng dan puncak gunung; seakan - akan memberi inspirasi baginya.

Dari pengalaman menemani sang ayah berburu, Pat mulai tergoda mendaki gunung - gunung bersalju di Canadian Rockies, sebutan untuk Pegunungan Rocky di wilayah Kanada, yang sebelum itu cuma bisa dipandanginya dari jauh. Mulailah dia naik ke sebuah gunung setinggi 3000 - an meter. Dan Pat mendapat pelajaran pertamanya. “Pengalaman pertama kali mendaki ini mulai menumbuhkan keyakinan dalam diri saya tentang apa yang mampu saya lakukan dan apa yang tidak,” katanya.

Berhasil sampai ke puncak, waktu turun dia jadi ketagihan. Kemudian Pat mendaki gunung itu berkali - kali jika ada kesempatan. Jiwa mudanya seolah mengacuhkan bahaya yang mungkin timbul. “Saya waktu itu mendaki di sembarang musim. Tidak peduli lagi musim panas atau musim dingin. Pokoknya mendaki dan mendaki. Padahal di musim dingin, suhu di atas gunung itu biasanya cukup ekstrem, bisa sampai minus 20 derajat Celsius. Meski tidak punya pengetahuan memadai bagaimana mendaki dengan aman, saya berusaha survive. Malah saya tidak bawa sleeping bag. Untung waktu itu saya tidak mati,” kisahnya sambil tertawa mengenang masa remajanya.

Gara - gara kebandelannya, Pat pernah kena frostbite pada ibu jari kaki kanan. Frostbite atau radang beku akibat sengatan udara dingin biasanya menyerang ujung - ujung jari yang tidak terlindung dengan baik. Kalau sampai parah dan sel - sel dagingnya mati, sering tak ada pilihan lain daripada dibiarkan membusuk. Harus diamputasi. Untung lagi Pat tidak mengalami ini meski bekas kehitaman di jempol kaki kanannya itu masih ada sampai sekarang. “Sampai sekarang masih sensitif terhadap udara dingin,” katanya.

Mendaki gunung secara serius, artinya dipersiapkan dengan baik karena mengerti risiko, mulai dilakoni Pat di Bugaboo Spire, gunung di Purcell Mountain Range, British Columbia. Itu di tahun 1969. Untuk mencapai puncak gunung mirip jari-jari mengacung ke langit itu tidak bisa cuma dengan jalan kaki. Para pendaki mesti membekali diri dengan teknik rock climbing agar bisa melewati medan campuran salju dan batu granit yang terjal. Karena itu Pat juga menguasai rock climbing dengan baik sekali.

Di tahun 1978, kegetolan trekking dan mendaki sambil motret di seputar Canadian Rockies jadi modal bagi Pat untuk menulis buku. Bersama Anne Edwards dan Arthur Twomey, dia menyusun panduan wisata trekking, berkemah dan mendaki ke Purcell Mountain Range serta taman - taman nasional sepanjang British Columbia - Alberta. Buku setebal 103 halaman yang dilengkapi foto - foto menarik itu diterbitkan Douglas & McIntyre Publisher’s di Vancouver. Judulnya: Exploring the Purcell Wilderness.

Kemampuan menulis buku ini kemudian dikembangkan Pat untuk menulis kisah - kisah petualangannya. Buku - bukunya yang lain di antaranya The Yukon, Adventures in Photography, Himalayan Passages dan Beyond Everest.

Buku, foto, dan banyak kisah perjalanan Pat yang dimuat berbagai majalah memberi bukti bahwa dia bukan sekedar petualang yang nyambi jadi penulis. Pat memang profesional di kedua bidang itu. Dasar fotografi diperolehnya setelah selama dua tahun belajar pada sebuah sekolah fotografi di Banff, Alberta. Modal lain, diploma jurnalistik yang diraihnya di Calgary. Tapi, kemahiran memotret dan menulis menurutnya justru terasah tajam dengan seringnya dia jalan - jalan sembari praktek langsung. Pat, agaknya, tipe orang yang selalu belajar dari pengalaman.

Dia lalu memberi contoh seorang temannya di Kanada, fotografer dengan spesialisasi pada mountain landscape. Sudah lebih dari 20 judul bukunya diterbitkan, padahal orang itu tidak pernah sekolah fotografi. “Tergantung tiap individu. Jika kamu pandai, kamu bisa belajar apa saja di luar sekolah,” katanya serius . “Yang dinilai ‘kan hasil kerjanya. Penerbit buku kawan saya itu tidak peduli apa dia lulusan sekolah fotografi atau tidak. Kualitas foto - fotonya bagus, kok. Lebih dari 20 buku, bayangkan!” ujarnya.

Pat mulai menarik perhatian seorang editor senior yang kelak menjadi pengasuh majalah Equinox antara tahun 1976 - 1977. Waktu itu pemuda Pat Morrow membeli tiket bus, mengisi sebuah koper usang dengan foto - foto karyanya lalu berkeliling ke Montreal, Toronto, dan Ottawa. Tujuannya: mencoba merebut perhatian pengasuh beberapa majalah dengan esai foto tentang air terjun yang membeku di Pegunungan Rocky, pemandangan pantai barat Vancouver Islands dan alam liar Yukon di utara Kanada.

Seperti layaknya petualang muda, Pat pergi ke sana - kemari dengan akomodasi hanya sebuah sleeping bag, lalu bercita - cita membuat dunia petualangannya bisa ikut dinikmati banyak orang. “Life and photography are a continouos chain of happy coincidences for him,” komentar para editor setelah mengamati foto - foto karya Pat. Kontan beberapa pengasuh majalah pun tertarik membeli artikelnya tadi.

Di masa - masa “perjuangan” itu, Pat tinggal di Kimberley, masih di British Columbia, bersama ayahnya yang duda. Dia mengaku sering tertawa sendiri apabila ingat kamarnya ketika itu justru lebih sempit dibanding gudang tempat menyimpan kamera - kamera, alat - alat mendaki, dan perlengkapan ski. Untung kamar itu lebih sering dibiarkan kosong melompong karena penghuninya bertualang dari satu tempat ke tempat lain. Dari jajaran pegunungan di British Columbia sampai gurun dan ngarai di barat daya Amerika.

Di sela - sela perjalanannya, kadang - kadang Pat terlihat nongkrong di Hotel King Edward, Banff. Di situ dia berbagi cerita dengan teman - teman pendaki dan pemain ski yang membiayai perjalanan - perjalanan mereka dari upah bekerja sebagai waiters atau pekerja konstruksi.

Dengan prinsip sama lain cara, Pat melakukannya dengan honor sebagai fotografer - penulis. Sampai - sampai di tahun 1982 oleh J.A Kraulis dan Robert Fulford yang menyusun buku fotografi Canada: A Landscape Portrait, dia disebut “salah satu fotografer majalah tersibuk di Kanada”. Akhirnya, berkat kerja keras dan ketekunan, saat majalah Equinox diluncurkan tahun 1982, Pat jadi salah seorang yang diajak bergabung sebagai staf lapangan.

Kalau dihitung - hitung sudah hampir 30 tahun Pat Morrow menekuni kegiatan daki - mendaki gunung. Namun ternyata sulit baginya menentukan mana pendakian paling berkesan. “Agak susah menjawabnya karena kalau dilihat dari segi tantangannya, setiap pendakian punya tantangan tersendiri. Cerita sedih atau senang hampir selalu menyertai tiap pendakian. Jadi saya tidak punya alasan menganggap salah satunya sebagai yang paling memorable,” ucapnya.

Tidak ada gunung yang paling mudah didaki, begitu prinsipnya. Meskipun dari segi teknis sebuah gunung dianggap gampang, menurutnya dari segi lain pasti ada bagian sulitnya. Soalnya gunung merupakan sensitive area yang segalanya beda dengan di kota.

Dikisahkannya, suatu kali dia dan Baiba istrinya terperangkap badai salju di sebuah gunung. Selama beberapa hari mereka tidak bisa berbuat apa - apa dan hanya mendekam dalam tenda—menanti cuaca cerah. “Siksaan” itu ditambah dengan perjuangan lain: hampir setiap jam mereka harus menggali timbunan salju di depan pintu tenda mereka. Alasannya…… sekadar supaya mendapat udara untuk bernapas!

Setelah kenyang mendaki puncak - puncak Canadian Rockies, tahun 1977 Pat Morrow mulai menatap gunung di luar Kanada. Dia ketika itu tertarik dengan Gunung McKinley ( 6194 m ) di Alaska, Amerika Utara. Terletak 390 kilometer dari lingkaran kutub utara, gunung yang oleh orang Indian disebut Denali ( yang tertinggi ) sama sekali bukan gunung yang ramah. Bahkan pernah disebut sebut gunung terdingin di dunia. Pasalnya, semakin jauh sebuah gunung dari khatulistiwa, semakin terasa pula efek ketinggian pada suhu udara. Pada ketinggian yang sama, gunung yang jauh dari khatulistiwa lebih dingin dari yang dekat garis khayal itu.

Sebagai catatan, pada ketinggian 5486 meter atau kurang 600 - an meter lagi dari puncak McKinley, suhu terhangat adalah 28 derajat Celsius di bawah nol. Lebih dari cukup untuk membekukan tubuh dalam hitungan jam saja. Tapi Pat terlanjur menganggap kesempatan ini sebagai berkah. “Sebuah kesempatan untuk coba mendaki gunung di high altitude dan kebetulan pas dengan isi kantong saya. Sebenarnya saya tidak berharap banyak, tapi sepertinya menarik dilakukan. So, I did it,” katanya.

Pat yang ketika itu baru berusia 25 tahun menguras semua tabungannya yang sekitar 500 dolar lalu duduk di belakang kemudi sebuah VW Beetle karatan. Selama empat hari yang melelahkan, dia melintasi Alaska Highway sepanjang 3.862 km sebelum sampai ke Talkeetna, Alaska. Di kota inilah sebagian besar ekspedisi pendakian McKinley bermula.

Pendakian itu yang kemudian dikenangnya sebagai yang terberat. “Well, soalnya itu pertama kali saya beradaptasi dengan ketinggian ekstrem dan pengaruhnya buruk sekali buat tubuh saya. Kami merintis sebuah jalur baru yang juga sulit lewat South West Flank. Akibat terserang penyakit ketinggian, saya merasa sangat kedinginan, pusing, mual - mual, kehilangan nafsu makan, dan susah tidur.”

Tapi toh kemudian dia berhasil. Tengah malam pada tanggal 27 Mei 1977, dengan susah payah Pat dan seorang teman berhasil menginjak puncak McKinley. Meskipun saat itu suhu 34 derajat Celsius di bawah nol, saking kelelahan mereka berleha - leha hampir dua jam di titik tertinggi Amerika Utara itu. Pfuff!

Empat tahun kemudian, tahun 1981, saat mendaki “gunung setanAconcagua ( 6959 m ) di perbatasan Chile - Argentina, Pat ngobrol dengan rekan setenda. Topiknya: mereka sadar sedang berusaha menjejakkan kaki di puncak tertinggi Amerika Selatan. Lantaran iseng, saat itu mereka juga berdiskusi. Gunung apa sih yang tertinggi di benua - benua lain?

Tahun berikutnya lagi setelah mempersiapkan diri di Gunung Muztagh Ata ( 7546 m ) di Pamir, India, Pat yang termasuk anggota ekspedisi Kanada berhadapan dengan gunung tertinggi di dunia: Mount Everest. Mencapai atap dunia itu memang tak mudah. Dalam pendakian yang mengambil rute South Col di sisi Nepal itu ( rute tim Kopassus kita mencapai puncak pertama kali April ini ), seorang anggota tim mereka tertimpa longsoran es sekaligus mendapat tiket ke alam baka.

Ekspedisi terhenti hampir dua minggu akibat musibah itu. Lalu sebagian anggota tim memutuskan pulang ke Kanada. Saat itu secara psikologis betul - betul sulit membuat keputusan, apakah mau terus atau ikut pulang saja ke Kanada. Akhirnya delapan pendaki termasuk saya memutuskan untuk berusaha menyelesaikan pendakian. Bersama kami, ada dua belas sherpa yang siap membantu.” Ekspedisi ini kemudian menjadikan Pat sebagai orang tertinggi di dunia pada hari dia mencapai puncak.

Dalam perjalanan pulang dari kemah induk Everest, entah kenapa Pat merasa risau. Dia jadi teringat diskusi dengan temannya di Aconcagua setahun sebelumnya. “Apabila Anda baru saja mendaki gunung tertinggi di dunia, apa yang ada di belakang Anda seolah jadi tidak penting dan bisa jadi Anda kehilangan fokus ke depan. Saya telah berhasil mendaki Everest. Ya. Tapi dengan profesi sebagai fotografer, saya sadar tidak boleh berhenti di situ. Saya tahu bahwa saya butuh sebuah rencana. Dan bla, bla, bla, waktu itu jadilah Seven Summits sebagai ide ke masa depan.

Dasar ide ini, kalau menurut teori lempeng benua, di dunia ada tujuh daratan yang bisa disebut benua. Kebetulan waktu itu Pat belum pernah mendengar ada pendaki yang telah menyelesaikan pendakian ke puncak tertinggi di tujuh lempeng benua itu. Masing - masing Mount Everest ( Asia ), Elbrus ( Eropa ), Kilimanjaro ( Afrika ), McKinley ( Amerika Utara ), Aconcagua ( Amerika Selatan ), Vinson Massif ( Antartika ) dan Kosciusko ( Australia ).

Buat Pat sebenarnya agak aneh juga kalau belum ada pendaki yang memikirkan ide seperti ini setelah mendaki Everest. Padahal gunung yang oleh orang Tibet disebut Chomolungma dan oleh orang Nepal dinamakan Sagarmatha itu sudah didaki pertama kali oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay tahun 1953. “Saya agak heran,” akunya.

Di tahun 1983 Pat kasak - kusuk mencari penugasan majalah untuk pergi ke Eropa, Afrika, dan Australia. Dengan cara itu dia bisa sekalian mendaki tiga puncak lagi: Elbrus ( 5633 m ) di Pegunungan Kaukasus, Georgia ( ketika itu masih bagian dari Uni Soviet ), Kilimanjaro ( 5895 m ) di Tanzania dan Kosciusko ( 2230 m ) di Australia. Berarti sampai tahun itu, Pat sudah mendaki enam dari tujuh puncak benua.

Tetapi kemudian usahanya ada yang menyejajari. Bahkan dalam persaingan yang kemudian disebut media massa dengan “seven summits race” itu Pat kalah langkah. “Pesaingnya”: Dick Bass, seorang pengusaha milyuner asal Texas yang ketularan virus mendaki. Ketika itu Pat sedang berusaha mendaki Vinson Massif ( 4897 m ) di “benua putih” Antartika.

Tanggal 17 November 1984 pesawat tri - turbo DC-3 milik seorang kontraktor Califonia lepas landas dari pangkalan Punta Arenas di selatan Chili. Lima jam kemudian pesawat yang membawa tim pendaki Vinson Massif itu, termasuk Pat Morrow, mendarat di “runway” gletser es di Esperanza, Antartika.

Pat Morrow yang membutuhkan Vinson Massif sebagai puncak terakhirnya sudah berusaha keras mewujudkan ekspedisi itu. Masalah yang harus dihadapi sebelum mendaki gunung yang letaknya 966 kilometer dari kutub selatan itu meliputi: transportasi, logistik, dana, dan birokrasi. Selain itu ekspedisi pun sempat mendapat rintangan dari organisasi - organisasi ilmu pengetahuan internasional yang sering melakukan penelitian ilmiah di sana.

Selama setahun Pat berkirim surat ke pejabat birokrasi di lima negara untuk mencari dukungan. Selain itu dia juga mengontak praktisi cinematografi, maskapai penerbangan, calon donatur potensial, produsen alat - alat ski dan mendaki — serta siapa saja yang tertarik. Pokoknya, dia menghubungi semua kontaknya demi mendaki Vinson. Pat memang berhasil, tapi tidak saat pelaksanaan ekspedisi.

Ketika pesawat mereka singgah sebentar di Esperanza, pangkalan terdekat di ujung Antartika sebelum melanjutkan penerbangan mendekati Vinson, timbul masalah. Pesawat itu mengalami kerusakan sehingga awaknya harus menerbangkannya ke Argentina untuk perbaikan. Tapi sial. Mungkin karena waktu itu masih hangat - hangatnya perang Malvinas, di sana para awak justru mendapat masalah lagi dengan pejabat militer setempat. Ditambah masalah - masalah lain, akhirnya ketika pesawat naas itu kembali ke Esperanza, tugasnya hanya membawa mereka balik ke Punta Arenas. Susah payah Pat menahan rasa dongkol karena hasil ini jauh dari harapan. Ekspedisi gagal.

Kembali ke Kanada, beberapa bulan kemudian Pat mendapat berita bahwa Dick Bass yang ikut empat ekspedisi Everest dalam dua tahun, akhirnya berhasil mencapai puncak pada tanggal 30 April 1985. Orang yang sebenarnya tidak dianggap saingan oleh Pat Morrow itu sukses bersama ekspedisi Norwegia yang dipimpin raja kapal Arne Naess. Dia ikut sebagai paying member ( ikut dalam tim dengan membayar ) dalam usia 55 tahun, usia tertua bagi pendaki yang berhasil di Everest sampai saat itu. Bagi Dick Bass, Everest adalah puncak seven summits yang terakhir setelah sebelumnya dia sudah mendaki keenam puncak lain.

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×