Mati Sendirian Di Puncak Dunia 2

David Sharp lahir di kota kecil Harpenden di Inggris dimana ayahnya bekerja sebagai seorang analis pada perusahaan kimia; sedang ibunya adalah seorang asisten laborat. Karena pekerjaannya ayah David membawa keluarga ini tinggal di Timur Laut Inggris dimana David bersekolah di Guisborough’s Lawrence Jackson School dan Prior Pursglove College.

www.belantaraindonesia.org

Guru Fisika-nya, Steve Honeysett teringat David sebagai salah satu dari siswanya yang paling cerdas. "Ia sangat individualist walaupun untuk seusia dia. Ia cepat berpikir, dengan cara pemikiran yang sistematis." Di Nottingham University di tahun 1993 David Sharp mendapatkan gelar insinyur mesin-nya. Ia juga mulai melakukan climbing.

Dengan tubuh atletis setinggi 6ft ( 183cm ), membuat ia adalah sosok ideal dengan kombinasi tubuh yang ringan dan jangkauan yang panjang. Ia melatih kemampuan climbing di Lake District dan juga pada bentukan dinding di dekat rumahnya.

Kawan dekat Sharp suka menyebutnya sebagai `ilmuwan roket’. Dan itu memang mendekati kenyataan ketika Sharp mendapatkan pekerjaan di Departemen Pertahanan dengan spesialisasi target system. Ia juga makin mengasah kemampuan climbingnya.

Di tahun 2001 ia bergabung dengan ekspedisi komersial menuju Gasherbrum II dengan ketinggian 8,035m adalah puncak 13 tertinggi di Himalaya. Henry Todd yang saat itu memimpin ekspedisi teringat David adalah pribadi yang "pemalu, tidak terlalu suka bergaul dengan sesama, lebih sebagai seorang penyendiri".

Ekspedisi itu tertahan oleh cuaca yang buruk dan turun kembali dari ketinggian 7,700m. Todd agak meragukan kemampuan David dalam climbing. Walaupun bersemangat namun "ia bukanlah seorang climber yang memikirkan keselamatan dan bukanlah pembuat keputusan yang baik."

Sharp kembali ke Himalaya di tahun 2002, kali ini ia ingin menaklukkan Cho Oyu dengan tinggi 8,201m yang terletak tak jauh dari Mt Everest. Ia bergabung dengan grup komersial Project Himalaya yang dipimpin oleh Jamie McGuiness, seorang pendaki dan guide dari New Zealand yang mengingat David sebagai, "sangat kurus dan tegap tapi mempunyai kekuatan di ketinggian".

Sebuah tim dari Irlandia Utara yang juga sama - sama mencoba menaklukkan Cho Oyu memberikan keterangan yang berbeda dari Todd yakni "sangat menyenangkan, bersahabat, dan cerdas," kata Richard Doughan.

Doughan yang berpidato pada saat perayaan memorial di Guisborough bulan Juli lalu menambahkan, " David menyukai tantangan. Ia mendaki gunung untuk menemukan tujuan dan keinginannya." Doughan juga sepakat bahwa Sharp cenderung penyendiri.

Walaupun ia gampang ditemani dengan cerita - cerita travelling namun hampir semua orang menyatakan ia adalah "tipe seorang yang selalu mengambil langkah ke belakang sehingga tak banyak orang yang tahu tentang pribadinya."

Sharp berhasil mencapai puncak Cho Oyu dengan McGuiness. Namun bagi Dougan dan tim Irlandia ini adalah kesusksesan yang pahit ; satu dari tim pendakinya meninggal jatuh di Crevasse. Dougan sebelumnya telah berencana untuk mencoba Everest dengan kawannya yang meninggal itu. Lantas ia mengundang Sharp untuk mengambil tempat sebagai pengganti.

Sharp menerima tawaran itu. Tiba di Everest April 2003, Sharp dan tim berusaha menuju puncak dari sisi utara, menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan "jendela cuaca' di akhir bulan Mei yang biasanya memberikan peluang terbaik.

Sharp dan Dougan adalah pasangan yang paling fit yang berusaha mencapai puncak. Namun mereka harus melalui awal yang tak mengenakkan ketika mencapai sisi Timur Laut, sebuah lokasi yang menjadi pekuburan paling dikenal di Everest.

Di tahun 1996 seorang pendaki India yang berusaha turun setelah melalui badai meninggal di cerukan batu tepat disamping jalur pendakian. Mayatnya yang dikenali dengan sepatu boot warna hijau tetap berada di tempat itu hingga saat ini. "Anda bisa melihatnya tiap detail," Dougan menggambarkan mayat itu. Ini adalah salah satu mayat dari sekian puluh yang berserakan di Everest, ditinggalkan karena tidak mungkin untuk membawa turun.

Dougan teringat betapa berat untuk keluar dari deretan batuan di sisi Timur Laut. Sharp terlihat "kuat dan waspada, dan menguasai keadaan". Tapi saat itu Everest begitu dingin dan Sharp mulai mengalami radang dingin di pipi dan hidungnya. Ia juga mengalami masalah dengan tabung oksigen.

Di tengah perjalanan antara dua tempat yakni First Step dan Second Step, Sharp memutuskan untuk kembali. Tak urung ia malah meminta Dougan untuk mencoba sendirian, tapi ia juga segera menyerah. Ketika Sharp membuka sepatu boots-nya malam itu, ia nampak menyesal melihat tanda - tanda radang dingin di kakinya.

Akhirnya ia harus kehilangan jempol kaki dan setengah dari jari kaki kecil lainnya. "Ia tidak pernah mengeluh tentang kehilangan jempol –ia nampak bisa menerima kenyataan," begitu Dougan menambahkan.

Sembari mengusir sepi selama ekspedisi, Sharp juga berbicara tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia mengatakan pada Dougan bahwa ia ingin menjadi seorang guru. Dougan yang bekerja di adventure centre di Irlandia Utara berujar tentang "bekerja dengan anak - anak adalah hal yang menyenangkan –sesuatu yang mungkin mempengaruhi Sharp."

Keinginan Sharp untuk mendaki Everest tetap tak terpatahkan. Ia kembali setahun kemudian, bergabung dengan sebuah grup dari Perancis - Austria mencoba dari sisi utara. Pemimpin tim Hugues d'Aubarade menyebut Sharp,"orang yang betul - betul independen".

Walau begitu ia cukup terkesima ketika Sharp mengumumkan dua keputusan penting. Ia akan mendaki Everest sendirian dan melakukannya tanpa tabung oksigen. Climbing solo atau sendirian akan membuat resiko makin besar karena seorang pendaki tidak punya partner untuk berbagi keputusan atau mengharapkan bantuan dikala kesulitan datang.

Climbing tanpa oksigen akan makin memperburuk situasi karena hanya 1 dari 10 orang yang berhasil ke puncak Everest adalah tanpa menggunakan tabung oksigen. Bagi pendaki yang tidak menggunakan tabung oksigen hampir semua berdasar pada masalah etis.

Mereka menyebut mendaki dengan bantuan oksigen adalah bentuk kecurangan –pandangan yang sepenuhnya disetujui oleh Sharp. "Aku ini salah seorang yang ngg waras yang tidak menyetujui penggunaan peralatan oksigen," begitu ia menulis email kepada kawan pendaki dari Australia Tony Bragg.

"Filosofi-ku adalah jika kamu ingin oksigen yang lebih banyak, maka naiklah ke puncak gunung yang lebih rendah." D'Aubarede teringat ketika Sharp "mempertahankan idenya itu dengan sungguh - sungguh". Namun Sharp menolak sarannya untuk melakukan aklimatisasi dengan naik turun secara berkala hingga base camp ketimbang menghabiskan banyak waktu di ketinggian.

Sharp, ujarnya adalah sebuah "enigma yang mengesankan menarik diri dari realitas dan seperti hidup di dunia lain." Ketika pendakian, Sharp bersama d'Aubarede dan tiga kawannya, ia terlihat jauh tertinggal. Saat D'Aubarede berhasil mencapai puncak, Sharp kembali turun dari First Step.

Sharp tetap memandang positif atas kegagalannya dalam sebuah email kepada Bragg. "Saat itu kami mendaki dengan tangguh." Ia menambahkan "Aku kira tak akan kembali lagi ke si besar E ( Everes t) dengan oksigen dan cuaca baik. Aku tanpa ragu akan bisa sampai ke puncak walau tantangan yang sesungguhnya tidak kutemui disana."

Pernyataan Sharp ini berbeda dengan yang diberikan kepada d'Aubarede."Ia berkata bahwa akan kembali ke Everest karena ia ingin mendaki hingga puncak." Setahun kemudian, Sharp mengundurkan diri dari pekerjaannya di Departemen Pertahanan dan mengambil pendidikan untuk menjadi guru di Nottingham. Ia kemudian melakukan `globetrotting' travelling secara intesif di Amerika Selatan dan Asia.

Tapi Everest terus saja mengganggunya dan sesaat sebelum hari Natal ia mengirim email kepada McGuiness untuk mengumumkan upaya terakhirnya. Sharp juga menambahkan beberapa detail penting lain : ia memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan dari Kathmandu bernama Asian Trekking. Perusahaan ini dikenal menawarkan calon pendaki Everest dengan tarip sekitar $7,000 hingga $8,000 untuk pelayanan dasar seperti peralatan oksigen, makanan, tempat di base camp, dan permit dari pemerintah China.

Perusahaan klas atas biasanya meminta $40,000 bahkan lebih untuk makanan berkualitas baik, guide yang professional, tali yang telah dipasang sepanjang rute untuk meningkatkan keamanan, dan para sherpa menemani para klien hingga ke puncak dan kembali.

McGuiness mengelola Project Himalaya yang menawarkan tarip menengah yakni $22,000. Ketika mendengar rencana Sharp, ia menawarkan membayar $1,000 lebih dari yang dibayarkan Sharp kepada Asian Trekking dan bergabung dengan tim yang dipimpin McGuiness.

Namun Sharp menolak tawaran itu. "Ia menyebut sebagai tawaran yang murah hati," kata McGuiness,"Namun ia akan terikat dengan grup dan tidak akan mampu melakukan sesuatu dengan independen. Ia merasa cukup kuat untuk bisa mengatasi keadaaan di ketinggian." ( Peter Gilman )

 Diambil dari Majalah The Sunday Times, UK terbit 24 Sept 2006 Diterjemahkan dengan bebas oleh Ambar Briastuti untuk Belantara Indonesia. Mati Sendirian Di Puncak Dunia 3

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×