Nama - nama itu adalah mereka yang hilang atau tewas di Everest sejak gunung ini pertama didaki. Scott Fischer, salah satu nama legendaris yang dipahatkan di batu nisan itu. Pemandu pendakian Gunung Everest ini tewas bersama tujuh pendaki lain dalam tragedi Mei 1996.
Jon Krakauer, penulis dan pendaki yang selamat dari tragedi itu, menuturkan dalam bukunya, Into Thin Air, tentang kedahsyatan badai salju di puncak Everest pada waktu itu. Badai yang membekukan tangan dan kaki serta membutakan mata sehingga melampaui segala daya tahan manusia.
Sebagian besar nama yang terpahat itu adalah pendaki hebat, bahkan juga para Sherpa, yang sudah berkali - kali mencapai puncak Everest. Babu Chiri Sherpa misalnya, seorang sirdar atau porter di ketinggian yang pada usia 35 tahun sudah mencapai puncak Everest untuk yang ke - 10 kalinya. Dia tewas karena terperosok crevasse, jurang es yang tertutup salju tipis, saat hendak mencapai puncak Everest untuk yang ke - 11 kali.
Rombongan yak melewati nisan batu di Dugla Pass, berketinggian 4.830 meter di atas permukaan laut. Nisan tanpa jasad itu untuk menghormati ratusan pendaki yang tewas di Everest. |
Risiko kematian dalam pendakian Everest terus menurun seiring dengan kemajuan teknik dan alat pendakian, serta prakiraan cuaca yang lebih baik. Berdasarkan data Adventurestats.com, hingga 2006 sebanyak 11.000 orang mencoba mendaki Everest dan hanya 3.000 orang yang sukses mencapai puncak atau angka kesuksesannya hanya 29 persen. Adapun tingkat kematian sebanyak 2,05 persen atau total 207 orang tewas dalam pendakian itu.
Angka kesuksesan pendakian Everest terus membaik, tetapi tiap musim pendakian tak pernah sepi dari berita tentang pendaki yang tewas di Everest. Pada tahun 2011 ini sedikitnya tiga pendaki tewas di Everest.
Dugla |
Radang beku ( frossbite ), jurang es yang tersamarkan salju tipis ( crevasse ), badai salju yang membutakan ( snow blind ), longsoran salju ( avalanche ), oksigen yang tipis, hingga penyakit karena ketinggian ( Acute Mountain Sickness ) adalah sederet bahaya yang mengancam nyawa pendaki. Bahkan, pendaki terhebat sekali pun yang didukung perhitungan matang bisa menemui ajal di atas gunung.
Namun, bagi para pendaki, risiko itu dianggap sepadan. Bahkan, seperti dituturkan Ernest Hemingway, penulis Amerika peraih Nobel Sastra, yang disebut olahraga sejatinya hanya pendakian gunung, selain adu banteng dan balapan mobil. Sedangkan yang lain - lain hanyalah permainan.
Alasannya, jika seorang penjaga gawang salah mengantisipasi bola, dia barangkali hanya akan kalah bertanding. Akan tetapi, seorang pendaki yang terpeleset ke crevasse di Everest kemungkinan besar akan berujung pada maut.
PETUALANGAN
”Manusia membutuhkan sesuatu yang lain dalam hidup,” kata Dick Bass, yang pertama kali mencapai tujuh puncak, dengan versi puncak ketujuh adalah Gunung Kosciusko ( Australia ). Dick Bass adalah pengusaha AS kaya raya, pemilik tambang batu bara dan juga resor ski mewah. Dia mendapat inspirasi untuk mendaki tujuh puncak tertinggi bumi setelah mencapai puncak Denali pada tahun 1981.
Jalur Dugla di Everest |
Kisah tentang petualangan seperti tak pernah habis, sekalipun saat ini barangkali tak ada lagi tempat di bumi ini yang belum terjamah manusia. Selalu saja setiap orang menemukan alasannya sendiri untuk mencapai puncak - puncak tertinggi itu. Bahkan, sebagian lagi tak butuh alasan yang ribet untuk mendaki gunung, seperti dikatakan James M Clash dalam To The Limits bahwa dia mendaki, ”Hanya karena gunung itu di sana.”
Karena itu, sejak Dick Bass mengumumkan sebagai orang pertama yang menapak di tujuh puncak benua pada 1985, dan kemudian direvisi oleh Patrick Morrow pada 1986, puncak - puncak tertinggi di bumi itu masih juga menjadi obsesi banyak pendaki.
Setiap tahun ratusan pendaki dari berbagai negara berlomba menapak puncak-puncak itu. Dan hingga Maret 2010 tercatat 274 pendaki dari 51 negara yang sukses menapak di tujuh puncak benua. Tak cukup sekali, beberapa di antara mereka berulang kali menjadi The Seven Summiters.
Ketika kemudian semakin banyak pendaki sanggup mencapai tujuh puncak, pendaki Reinhold Messner mencari tantangan lain. Dia mendaki solo ke puncak Everest, tanpa membawa tabung oksigen. Atau juga seperti pendaki - pendaki Polandia, yang sengaja memilih musim pendakian ke puncak - puncak tinggi itu di musim terdingin. ”Kenikmatan akan penderitaan positif. Karena jika sesuatu diperoleh terlalu mudah, Anda tak akan menikmatinya, sungguh,” kata Wielicki, pimpinan pendaki Polandia.
Namun, ”penderitaan positif” ini kadang terlalu dekat dengan kematian. Nisan tanpa jasad di punggungan Dugla, Everest, menjadi saksi betapa maut selalu teramat dekat dengan kejayaan para pendaki. Source
ARTIKEL TERKAIT: