Korban Aconcagua Sulit Di Tolong

Didiek Samsu dan Norman Edwin, pendaki gunung Indonesia, mendapat musibah dan meninggal di Puncak Aconcagua. Sulit dan lama proses membawanya turun. Mengapa harus menggunakan kereta salju atau seekor bagal ? Mengapa tidak diangkat saja dengan helikopter ?


Dua pendaki Indonesia itu ditemukan meninggal di puncak Gunung Aconcagua, Argentina, Amerika Selatan, pada ketinggian dan waktu yang berbeda. Didiek Samsu ditemukan 23 Maret pada ketinggian 6.400 m dan Norman Edwin ditemukan 2 April di ketinggian 6.600 m. Beda 200 m di ketinggian hampir 22.000 kaki. Pada ketingian 22.000 kaki itu, tebing dan lereng Aconcagua yang terjal sudah banyak diselimuti salju. Tebal salju mencapai 50-60 cm. Di tempat itulah dua pendaki Mapala UI yang sebelumnya dinyatakan hilang, ditemukan tewas oleh tim SAR Argentina, Patrulla Socorro. 

 Mencari hilangnya kedua pendaki Indonesia itu sebelumnya menjadi pokok persoalan. Patrulla Socorro berhasil menemukan korban, meskipun harus agak lama. Memang bukan mudah mencari di antara tebing dan jurang bersalju itu. Dan setelah itu persoalan baru timbul. Bagaimana membawa kedua jenazah itu turun?

Semula, banyak orang mengira bahwa untuk membawa turun jasad Didiek dan Norman, bukan soal lagi. Apalagi di zaman modern saat ini. Terbangkan helikopter ke sana, mendarat atau hovering di tempat kejadian, masukkan korban ke kabin dan terbang lagi ke bawah. Selesai. Itu perkiraan. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Karena ternyata helikopter memiliki kemampuan terbatas dan tidak mampu terbang ke puncak Gunung Aconcagua. Ada dua sebab utamanya, kemampuan helikopternya dan kemampuan awak pesawatnya.

Mengapa sulit ? Keadaan udara pada ketinggian 6.600 m atau hampir 22.000 kaki dihitung dari permukaan laut, entah itu di puncak gunung atau di awang - awang, bukanlah keadaan yang menguntungkan bagi manusia maupun helikopter. Manusia, siapa saja, akan terpengaruh. Pada ketinggian 22.000 kaki itu keadaan tekanan udara sudah menjadi kurang dari separo tekanan di permukaan laut, menjadi 335 mmHg.

Kadar oksigennya sudah sangat tipis, persentasenya sangat kecil dibandingkan kadar oksigen di darat. Suhunya ? Sudah sangat dingin, 24,6 derajat Celcius di bawah nol, atau minus (-) 24,6 derajat. Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80 mmHg atau setengah tekanan oksigen di darat. Tekanan di permukaan laut 760 mmHg dan tekanan parsiel O2-nya 160 mmHg dengan berat udara 14,7 pon per square inch ( PSI ).

Pada keadaan itu, orang tidak akan tahan tanpa bantuan alat, seperti selimut/baju tebal atau masker oksigen untuk membantu pernafasan. Dan situasi udara setengah atmosfir ketinggian 18.000 – 20.000 kaki itu dijadikan standar untuk menguji penerbang maupun calon penerbang, karena situasi udara di tempat itu sama dengan setengah atmosfir.

Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80 mmHg atau setengahnya tekanan oksigen didarat. Dalam ujian kemampuan calon penerbang di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa ( Lakespra ) ‘dr. Saryanto’, para calon dimasukkan ke dalam altitude chamber. Mereka duduk berderet dan diberi persoalan. Soal hitungan itu bentuknya sangat sederhana dan sangat mudah seperti 2+2, 3+2, 4+3 dan sejenisnya. Setelah mereka siap, kemudian ruang dibuat sama dengan kondisi pada ketingian 18.000 kaki. Semua calon mulai mengerjakan soal yang ada di tangannya. Tidak lebih dari 20 menit. Apa yang terjadi?

Pengaruh ketinggian mulai nampak. Sebagian besar mereka tidak mampu mengerjakan dengan benar soal hitungan kelas 1 SD permulaan itu. Malah ada yang linglung, dipanggil diam saja. Mereka sudah tidak mampu menguasai diri. Itulah tanda - tanda ia terkena hipoksia, kekurangan gas oksigen. Secepatnya petugas ruang ( yang selalu mengenakan masker oksigen ), membantu calon tersebut menggunakan masker oksigen yang tersedia didepannya, sebelum calon penerbang itu jatuh pingsan.

Keadaan seperti itu pun terjadi di puncak gunung, seperti Aconcagua yang tingginya lebih 18.000 kaki. Karena itulah maka pendaki gunung pun harus melakukan uji kemampuan dalam altitude chamber seperti para calon penerbang. Sama halnya dengan orang terbang di awang - awang terbuka, maka menuju ketinggian dengan cara mendaki gunung, akan terkena pengaruh ketinggian.

Bedanya, bila dengan pesawat terbang, reaksi pengaruh berlangsung cepat karena pencapaian ketinggian dapat dilakukan dengan cepat. Bagi pendaki gunung, untuk mencapai ketinggian seperti Aconcagua itu ditempuh dalam beberapa hari, sehingga selama perjalanan, penyesuaian dengan keadaan lingkungan berlangsung.

Namun, apa pun cara mencapai ketinggian itu, daerah di ketinggian di atas 18.000 kaki bukanlah tempat hidup manusia. Karena di sana atmosfir memiliki keadaan yang tidak lengkap, kurang dari separo keadaan di darat tempat habitat manusia. Rendahnya tekanan parsiel gas oksigen menyebabkan tekanan parsiel dalam paru-paru juga menjadi rendah, akibatnya orang akan kekurangan oksigen, hypoxia.

Seseorang yang berada pada situasi yang tekanan parsiel gas O2-nya turun 25 persen saja, akan terkena pengaruh menurunnya kecerdasaan berfikir. Karena itulah, maka suatu penerjunan bebas yang tanpa menggunakan masker oksigen, hanya boleh dilakukan dari ketinggian terbang maksimum 10.000 kaki, batas toleransi manusia pada ketinggian.

Cepat lambatnya seseorang terpengaruh hipoksia, tergantung pada kondisi tubuh, umur, latihan, aktifitas tubuh, kepekaan seseorang serta pengalaman terhadap pengaruh hipoksia . Semakin tinggi, orang lebih cepat terkena pengaruh hipoksia. Pada ketinggian 50.00 kaki atau 15.240 m dengan suhu (-) 56,5 derajat Celcius dan tekanan parsiel oksigen yang tinggal 20 mmHg, maka orang hanya bisa bertahan tidak lebih 10 detik saja.


Mengapa helikopter tidak bisa ? 
Suatu proses pertolongan korban kecelakaan pesawat terbang di gunung yang tingginya 5.000 kaki, terkadang mengalami kesulitan. Bukan helikopternya yang tidak mampu, tetapi justru keadaan cuaca yang seringkali tidak mendukung. Helikopter terbang pada ketinggian 5.000 kaki masih bisa dilakukan. Tetapi terbang pada 22.000 kaki seperti di Gunung Aconcagua, adalah persoalan.

Helikopter bisa terbang karena timbulnya gaya angkat pada baling - baling rotor yang berputar. Karena itulah maka helikopter disebut juga rotary wing. Dan untuk mampu mengangkat helikopter beserta isi kabinnya, diperlukan tenaga gaya angkat yang besar. Di daerah rendah, gaya angkat mudah terjadi, karena udara yang padat. Dengan gaya angkat yang besar itu, maka helikopter mampu malakukan hovering, melayang di tempat, untuk melakukan pertolongan beberapa menit. Untuk hovering diperlukan gaya angkat yang lebih besar dari pada gaya yang diperlukan untuk terbang biasa.

Di ketinggian 22.000 kaki, helikopter tidak akan mendapatkan gaya angkat yang diperlukan, karena renggangnya udara. Apalagi untuk hovering yang mesti dilakukan sebuah helikopter di saat akan take-off, waktu mendarat atau sedang menolong korban di daerah yang sulit. Karena tidak selalu bisa mendarat, maka digunakan cara hoist, menurunkan dan menaikkan penolong serta korban melalui kabel baja penarik yang dipasang di sisi kiri / kanan helikopter. Dengan cara ini mengharuskan helikopter melakukan hovering.

Masalah lain adalah awak pesawat dan tim penolongnya. Mereka tidak akan mampu berlama - lama di ketinggian 22.000 kaki tanpa bantuan oksigen. Mereka juga harus menjaga diri agar tidak hipoksia. Sulit memang. Itulah sebab mengapa helikopter tidak digunakan dalam pertolongan di Gunung Aconcagua. Tingginya tempat, kencangnya angin di puncak, sampai 240 km / jam dan badai salju, membahayakan siapa saja yang ada di sana termasuk helikopter. Karena itu, mereka memilih menggunakan kereta salju dan bagal.

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×