Sampai kini kenangan tentang beliau khususnya bagi para penggiat alam bebas dan mahasiswa pecinta alam UI teramat sangat melegenda. Baik dari segi kesungguhannya terhadap alam maupun dalam kemahasiswaannya.
Norman meninggal di Aconcagua dalam rangka menegakkan Merah Putih dan Panji Mapala UI di Puncak Aconcagua yang terkenal itu.
Sungguh, kehebatannya menjadi acuan para pendaki masa kini dan nanti dalam mengarungi alam dan mencintainya.
Selayaknya kita turut memberikan hormat dan ucapan salut atas yang Norman lakukan.
Sampai saat ini masih teramat jarang yang bisa menyamai ataupun melampaui Norman dikarenakan masalah hati dan pikiran. Ada baiknya Norman Edwin kita jadikan panutan khususnya bagi para penyuka alam bebas.
Siang itu tanggal 20 Maret 1992. Di sana, di hamparan salju putih, sesosok tubuh tinggi besar sedang berjuang keras melintasi tanjakan dengan kemiringan 40 derajat pada ketinggian 6.700 meter.
Niatnya sudah bulat. Ia akan mengibarkan Sang Merah Putih dan Panji Mapala UI di Puncak Aconcagua. Ya, puncak tertinggi Amerika Selatan itu hanya tinggal 200 meter lagi!
Meski semangat terus membara, namun gerak tubuh itu kian perlahan. Sekilas ia teringat Didiek Samsu, yang juga keletihan dan kini beristirahat tak jauh di bawahnya.
Lalu tarbayang wajah mungil Melati, anaknya. Karina, isterinya. Juga wajah - wajah keluarga yang dicintainya. Serta para sahabatnya yang sering menyuruhnya kembali.
Iapun meringis.. “Aku akan sampai ke puncak. Kini aku akan istirahat sejenak.” pikirnya. Tak lama kemudian matanyapun terpejam. Rasa letih dan kantuk itu telah membiusnya dan mengantarkan jiwanya ke puncak.
ARTIKEL TERKAIT: