Bahkan hingga kini masih banyak orang yang terganggu tidurnya karena ingin kesana. Tidak sedikit yang telah mengorbankan waktu, biaya, tenaga bahkan nyawa! Hanya agar bisa sejenak menikmati sejengkal puncaknya.
Dari pendaki yang terbiasa naik gunung dengan sepatu lars tentara, sampai mereka yang lebih sering menikmati sepatu ber-“crampon”.
Semua rasanya bermimpi untuk berdiri di Everest. Ada yang kesampaian, namun lebih banyak yang harus puas hanya dengan memandangi fotonya setiap hari. Seperti Anda dan saya mungkin.
Mengapa puncak gunung begitu memikat bagi sebagian orang? Mengapa harus ke tempat - tempat yang dingin membeku itu?
Meski telah banyak alasan yang dipaparkan orang, namun ada satu yang sangat menarik. Alasan ini dipaparkan oleh George Herbert Leigh Mallory - seorang pionir pendakian ke Everest - saat diwawancarai oleh “The New York Times” pada medio Maret 1923.
Ketika ditanya mengapa ingin mendaki Everest, ia lalu menjawab dengan simpel: “Because it is there.” Sungguh sebuah jawaban yang terkesan acuh tak acuh. Sebuah jawaban yang amat pendek untuk sebuah gunung setinggi Everest.
Sebagian orang berpendapat bahwa Mallory menjawab seperti itu karena sudah bosan ditanyai mengapa hendak ke Everest – kemana pun dia dan Tim - nya pergi mempresentasekan rencana mereka – sementara di sisi lain persoalan persiapan Tim masih banyak.
Namun, menurut saya, bila ingin ditilik lebih jauh, Mallory sama sekali tak bermaksud untuk menyepelekan motivasinya atau untuk sekedar menghindari kontroversi tentang itu.
Ia adalah anak seorang pendeta di Cheshire, Inggris, yang berpendidikan dan cerdas. Saat bersekolah di Magdalene College, Cambridge, ia banyak bergaul dengan seniman dan penulis.
Selepas itu, Mallory menjadi pengajar di Charterhouse School. Ia adalah pribadi yang idealis, pemimpin yang kharismatik serta pemikir yang romantis.
Meski pernah menjadi penembak meriam pada PD I ( 1914 - 1918 ), sifatnya yang terakhir disebutkan itu tidak hilang.
Ini bisa dibuktikan pada surat - surat yang ditulisnya untuk Ruth Turner, istrinya, saat mengeksplorasi kaki Everest pada 1921.
Surat yang jauh lebih banyak memuat unsur estetika dan nurani ketimbang persoalan teknis pendakian.
Mallory juga sudah menyaksikan kematian sembilan orang rekannya pada dua ekspedisi perintis ( 1921 dan 1922 ) sebelumnya.
Bahkan, untuk mengenang sahabatnya, Dr. Alexander Mitchell Kellas, yang gugur di Kampa Dzong, ia mendaki puncak Ri-Ring ( 6858 m ) dan menamainya sebagai puncak Kellas.
Lantas, dengan latar belakang seperti itu, mungkinkah Mallory masih bisa bermain - main dengan motivasinya ke Everest?
Penjabaran dari alasannya seolah - olah mirip dengan pernyataan filusuf Gabriel Marcel : “Hakikat saya terdapat dalam engkau.”
Mallory seakan - akan berusaha menggambarkan hubungan horizontal manusia dengan segala materi di alam ini. Sesuatu yang memang sudah harus terjadi secara esensial dan memungkinkan terciptanya eksistensi kita.
Sebab, pada dasarnya, pendaki gunung seperti kanak - kanak. Selalu banyak pertanyaan yang menghiasi benak mereka : “Apa yang ada di atas sana?” “Bagaimana rasanya berdiri di puncak itu?” atau “Sampai dimana ambang batas ketahanan manusia?”
Bedanya, bila kanak - kanak cenderung mencari jawaban pada orang yang lebih tua, para pendaki justru langsung memasuki zona ketidaktahuan mereka, mengalaminya secara nyata, lalu memberi khabar kepada orang banyak. Tantangan seperti itu memang hanya bisa dipahami oleh mereka yang melakukannya.
Keingintahuan itulah yang mendorong mereka untuk terus berjalan ke horizon berikutnya. Tak peduli pada pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Hal ini pula yang membuat manusia banyak melakukan penemuan-penemuan ilmiah. Dan mungkin itulah yang dimaksud Mallory. Sebuah karunia besar dari Yang Maha Kuasa yang harus dihargai oleh siapa pun.
Jawaban Mallory adalah alasan sepanjang zaman dari berbagai motivasi orang mendaki gunung, setidaknya bagi saya.
Ia sebenarnya telah berusaha memaparkan sesuatu yang mendasar. Agaknya, Mallory amat menyadari bahwa mendaki gunung adalah replika dari kehidupan itu sendiri.
Belakangan, kalimat pendeknya ini menjadi legenda yang terpisah dari legenda pria yang lahir pada 1886 itu.
Banyak orang yang menaruh respek dengan kata - kata tersebut, meski tetap tidak mampu mengakhiri kontroversi klasik tentang motivasi mendaki gunung.
Dan bila pada Juni 1924, Mallory ( dan seorang kawannya, Andrew Comyn Irvine ) akhirnya juga harus gugur tersapu badai di Everest, hal tersebut tetap tidak menyurutkan minat orang ke gunung.
Sebab, selama manusia masih punya rasa ingin tahu, gunung tidak akan pernah kekurangan pengunjung. Ya, karena dia ada disana.
ARTIKEL TERKAIT: