Buktinya ketika kita masih kanak - kanak, bila diminta menggambar pemandangan oleh guru di sekolah, jari - jari kita dengan cepat akan menghasilkan dua buah segi tiga biru muda yang di antaranya terdapat matahari terbit ditambah dengan sawah, jalanan dan sebuah rumah pada latar depannya. Hampir semua kanak - kanak mengenal gambar itu.
Atau, bila disuruh menyanyi, kita mungkin akan mendendangkan lagu “Naik - Naik ke Puncak Gunung” sebagai pilihan. Dan hampir semua orang dewasa mengenal lagu tersebut.
Lalu tanpa ganjalan mengajarkannya kepada putera - puteri mereka. Setidaknya, semua orang sepakat bahwa gunung bisa mewakili simbol keindahan dan romantisme. Sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Namun kenyataannya, banyak orang yang langsung berpikir berkali - kali saat diajak untuk melihat gunung dari dekat. Sebuah pengalaman pertama kali melihat megah dan tingginya gunung telah memberitahukan kepada kita bahwa gunung memang bukan “Fuji Color Film”. Tidak seindah warna aslinya. Di atas sana tidak ada hal - hal yang bisa memanjakan hidup.
Tidak ada warung bakso, supermarket, mall atau diskotik. Hutan lebat, tebing, jurang, ngarai, cuaca dingin atau binatang buas menjadi gambaran tetap hari - harinya.
Keadaannya yang “tak lazim” itu dapat langsung menimbulkan beragam pertanyaan saat kita melihat anak - anak muda pada akhir minggu mulai menenteng ransel di pundak, hendak ke gunung.
Sebenarnya, interaksi manusia dengan gunung mulanya terjadi karena terdorong oleh sebuah “ketidaksengajaan”.
Dahulu kala, orang mendatangi gunung bukan untuk mencapai puncaknya, melainkan untuk memenuhi beberapa tuntutan lain. Ada yang terdorong oleh faktor - faktor religius, seperti kisah Nabi Musa A.S. yang pergi ke bukit Tursina untuk mencari Allah SWT.
Atau kebiasaan beribadah orang - orang Jepang Kuno yang naik ke gunung Fujiyama sambil mendendangkan lagu - lagu pujian kepada Dewa mereka.
Faktor kebutuhan hidup juga menjadi penyebab lain. Mereka pergi ke gunung untuk sebuah mata pencaharian.
Hal ini nampak jelas pada pemburu Chamois ( sejenis kambing gunung ) di Pegunungan Alpen pada era 1490 - an atau pada pengunduh sarang walet di tebing pantai Karangbolong pada era 1720 - an. Ada juga yang terpaksa melintasi medan - medan berbahaya itu untuk selahan “promise land” penunjang eksistensi kaumnya.
Migrasi besar - besaran ke India yang terjadi sekitar abad ke - 4 SM, dipenuhi oleh perampok dan suku - suku penakluk yang masuk melalui celah - celah gunung di Hindu Kush, dekat batas India - Afghanistan sekarang. Disitu terdapat pula Pass ( celah ) sepanjang 128 km yang konon pernah dilewati Alexander Yang Agung pada tahun 329 SM.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang semakin pesat, membuat gunung juga tak luput dari perhatian orang - orang pintar.
Pada 1760, Prof. Horace Benedict de Saussure, seorang Hartawan, Profesor Filosopi dan Naturalis asal Swiss, pernah menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil membuka rute pendakian ke puncak Mont Blanc ( 4807 m ) di perbatasan Italia - Perancis.
Ia ingin sekali mengadakan penelitian ilmiah di sana. Sayang tidak ada yang tertarik karena legenda naga - naga bernafas api yang konon hidup di puncak tertinggi Eropa Barat itu.
Meski demikian, gunung itu ternyata berjodoh dengan kalangan ilmuwan. Tahun 1786, Dr. Michel - Gabriel Paccard dan seorang pandu gunung, Jacquet Balmat, akhirnya berhasil mencapai puncaknya.
Meski banyak catatan lain, namun pendakian Sir Alfred Wills dan kelompoknya ke puncak Watterhorn ( 3708 m ) pada 1854, diyakini banyak orang sebagai cikal bakal pendakian gunung dalam bentuknya seperti sekarang ini : sebagai alternatif hobi yang dapat memuat unsur petualangan, olahraga dan rekreasi. Keberhasilan borjuis Eropa ini lantas disepakati sebagai awal “Zaman Keemasan Pendakian Gunung” di Alpen.
Puncak - puncak mulai didaki manusia dengan unsur “kesengajaan”. Gunung - gunung perawan menjadi prioritas para pendaki. Mereka yang berhasil menjejakinya seolah - olah disejajarkan dengan pahlawan. Hasilnya, selama sebelas tahun Zaman Keemasan, kurang lebih180 puncak besar telah didaki manusia, sedikitnya satu kali dan lebih setengahnya dilakukan oleh orang - orang Inggris.
Tak dapat dihindari lagi, motivasi orang ke gunung pun semakin berkembang. Di Amerika sampai muncul ungkapan bahwa jika kita bertanya kepada seratus orang pendaki, maka kita akan mendapat seratus jawaban.
Itu berarti faktor penggerak yang membuat orang rela bersusah - susah mendaki sangatlah beragam. Ada yang karena disiplin ilmu, olahraga, ibadah, pengenalan pada diri sendiri, aktualisasi diri, prestasi, prestise, broken home bahkan karena frustasi ditinggal pacar.
Bagi dunia pendakian semua itu sah - sah saja. Namun bagi masyarakat awam, alasan tersebut sering dirasa tidak memadai untuk sebuah kegiatan yang taruhannya bisa saja nyawa sendiri.
Apalagi imbalan dari pendakian gunung tidak cukup untuk memuaskan orang - orang dengan pola pikir berazas material. Sekali lagi, Gunung, Tidak Seindah Warna Aslinya. Source
ARTIKEL TERKAIT: