Sang Penyelamat Merapi Dari Bukit Menoreh

Pria santun itu sedang berjalan - jalan bersama anak - anak mendaki lereng Merapi. Sebentar - sebentar dia mengajak anak - anak menyanyi. Setelah itu, dia bertanya, ''Siapa yang menciptakan Air? Siapa yang memberi kita pasir? Siapa yang memberikan kita padi dan sayur - sayuran?'' Paderi itu tak marah ketika anak - anak menjawab, ''Kiai Petruk Romo. Eyang Merapi, Romo!''

www.belantaraindonesia.org

Dia juga tak marah ketika anak - anak menjawab secara serampangan sambil menari - nari mengitari pepohonan. ''Saya tak ingin menanamkan kebencian kepada anak - anak. Saya juga tak ingin memaksa anak - anak memahami segala sesuatu dalam pengertian betul dan salah. Biarlah dia berhadapan dengan alam dan belajar dari alam,'' tutur Romo Kirdjito, paderi dari Desa Sumber, Muntilan, Jawa Tengah itu, kalem.

Jika telah lelah, Romo meminta anak - anak mandi di sungai. Mandi bukan sekadar mandi. Ketika berenangan di sungai yang tak terlalu dalam itu, anak - anak juga dididik mengenal dan memuliakan alam. ''Air yang menyegarkan itu pada mulanya hanya dari sepercik Air, kemudian ia mengajak teman - temannya mengaliri sungai kita.  Kalian harus berterima kasih kepada Air,'' ucap pria kelahiran Menoreh, 18 November 1953 itu.

Dididik semacam itu, membuat anak - anak kritis saat menyikapi perlakuan para penambang pasir terhadap kerusakan lereng Merapi. ''Mereka jadi bisa menciptakan doa yang berkait dengan kerusakan Merapi. Mereka jadi tak suka terhadap tindakan - tindakan yang merusak desa,'' kisah putra pasangan Kromo Pawiro dan Padinem itu. Benarkah?

Kisah semacam itu bukanlah fiksi atau film yang dibuat oleh sutradara besar. Saat pulang dari menziarahi Merapi, anak - anak menjadi sangat marah melihat truk - truk besar mengeruk pasir - pasir mereka. Bagaimana bentuk kemarahannya?

''Mereka tak melempari batu para penambang yang dipandang sebagai orang - orang serakah itu. Mereka hanya diam. Tak mau berkata sepatah pun untuk mengungkapkan kegeraman. Begitu terbebas dari pandangan yang menyiksa, anak - anak bergurau dan bernyanyi - nyanyi kembali.''

www.belantaraindonesia.org

Anak - anak Indah
Tentu ''menciptakan'' anak - anak sesantun dan seindah itu bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan pengorbanan, kesabaran, dan studi mendalam terhadap perkembangan anak - anak desa. ''Saya sangat mencintai mereka. Masa depan Merapi ada di tangan mereka. Saya berharap mereka akan menjadi penyelamat yang melayani makhluk lain sebagaimana alam melayani mereka,'' kata pria yang pernah belajar di SPG Negeri Bandung, Seminari Menengah Mertoyudan, dan Seminari Tinggi Yogyakarta itu.

Apakah Kirdjito punya masa lalu yang sangat berkait dengan dunia pedesaan? ''Ya, saya orang desa. Orang tua saya petani. Sejak kecil saya bergaul dan hidup dengan orang - orang desa.''

Meski demikian sebelum menjadi paderi desa Kirdjito justru menjadi imam di beberapa kota, termasuk Magelang. Dia bahkan pernah menjadi guru SD di Semarang. Setelah beberapa kali berperan sebagai imam di kota, baru sepuluh tahun terakhir melalang ke desa - desa dan kini menetap di Desa Sumber, kawasan indah penuh pergolakan yang terletak 9 kilo meter dari Muntilan.

''Di sini saya hidup bersama petani, berjuang bersama petani, beribadah bersama orang - orang desa, orang - orang yang sangat saya cintai.'' Jangan menyepelekan peran Kirdjito dalam dunia pertanian. Setelah belajar dan dolan ke Belanda ( dalam dua tahap ) tentang pertanian alamiah serta ngangsu kawruh kepada para perintis pertanian organis di Tanah Air, dia mampu menggerakkan para petani untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih diarahkan untuk melestarikan alam.

''Hidup itu juga indah jika kita tak menjadikan alam sebagai kuda tunggangan. Alam itu harus dijadikan sebagai mitra agar ia pun menjadikan manusia sebagai kawan.''

Karena itu, jangan heran ketika menyelenggarakan acara Natal tahun lalu, dia bersama umat menggelar lakon Semar Nggendhong Redi Merapi. Ada penghargaan terhadap alam dalam lakon itu. Ada kisah - kisah penyelamatan manusia terhadap alam yang mewujud dalam lagu - lagu dan teater.

''Ini bagian dari kehidupan saya yang ingin senantiasa menyatu dengan alam dan lingkungan. Dan jangan lupa, saya begini ini karena terkena virus seniman Sutanto. Saya berani melakukan yang aeng - aeng karena didukung oleh Sitras Anjilin, Ismanto, Gus Yusuf, Pak Nastangin, Mas Bambang, Alex, dan warga desa Sumber lain.''

Apakah tak ditegur pemimpin gereja? ''Belum. Saya kira mereka akan memahami cara saya. Ini kan cara yang juga dilakukan Yesus ketika menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan kebodohan,'' ujar pria santun itu sambil mempersilakan makan. Kedamaian, kesabaran, dan tutur kata indah memang senantiasa meluncur dari pria rendah hati itu. source

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×