Gunung di Indonesia kerap di analogikan sebagai pusat pemerintahan gaib yang entah, hanya Tuhan Sang Pemilik Alam-lah yang Maha Tahu.
Rinjani |
Mereka tidak mengambil rute gampang di Sembalun Lawang, tetapi melewati rute bahaya di Senaru. Rute ini hanya delapan jam dengan medan berat sampai di puncak Sangkareang.
Dari puncak ini mereka bergelayut di batu - batu cadas. Menurun menuju Segara Anak. Sebuah danau yang di tengahnya tersembul Gunung Baru yang merupakan anak Gunung Rinjani.
Gunung dengan mitos Dewi Anjani, putri rupawan berilmu tinggi seperti tersurat dalam lontar Rengganis ini terus diuri - uri. Dan saat purnama tiba, ritus tabur mas itu tetap lestari.
Gunung Gamalama |
Buaya itu dianggap sebagai penjaga kedamaian alam setempat. Mereka yakin jika buaya diusik dan terusik, maka lahar Gamalama akan berubah arah tidak seperti biasanya. Lahar itu akan semburat seperti Merapi sekarang yang menebar ke mana - mana.
Di Gunung Karangetang Pulau Halmahera mistisisme itu kian lekat lagi. Suku Tugutil yang berdiam di seputaran gunung ini sehari - hari menjalani hidup yang kental tradisi.
Itu dari kelahiran, dewasa sampai kematian. Malah jika ada warga yang meninggal, untuk mengusir roh buruk yang disebut Gomanga, mereka melakukan ritus unik untuk pengusiran sebelum mengantar si mati ke tengah hutan. Sambil mabuk mereka membabat apa saja yang dijumpa.
Gunung Karangetang |
Perubahan yang terjadi diasumsikan sebagai bagian dari pesan gaib untuk manusia. Berkat itu alam tetap lestari, terjaga, karena saling 'menghormat' antara alam dan manusia.
Di Bukit Dirun, lereng Gunung Mutis, misalnya, sesaji tak sulit ditemukan. Area ini dipercaya sebagai pemakaman kuno.
Makam yang terbentuk sebelum zaman es, dan jauh pra kawasan ini timbul dari dasar laut untuk menjadi daratan. Dan itu logis jika dilihat kontur dan stuktur tanah bukit ini yang berkarang - karang.
Malah kalau kita menyusuri Kabupaten Timor Tengah Selatan ( TTS ) tak tersadari mengamini buku The Atlantis karangan Arysio Santos serta Eden The East karya Stephen Oppenheimer, bahwa Indonesia merupakan benua yang hilang, dan membuka kemungkinan Nabi Nuh berasal dari Indonesia.
Sebab di daerah ini terdapat bukit yang disebut Fatu Kopa ( Batu Kapal ). Rakyat setempat pun meyakini, bahwa batu itu adalah kapal Nabi Nuh!
Gunung Mutis |
Dalam Son of The Sun disebutkan, suku ini merupakan manusia awal dari sebuah peradaban yang hilang. Namanya pun menyuratkan itu. Alif adalah pertama. Dan uru adalah manusia. Dengan begitu Alifuru adalah manusia pertama.
Mitos - mitos itu memang perlu disingkap misterinya. Itu agar tidak berubah menjadi dongeng yang kelak nglenik.
Para sejarawan Indonesia dituntut untuk menguak segala mitos itu agar sejarah negeri ini tidak seperti sekarang, sejarah dongeng.
Raja - raja yang pernah memerintah dianggap mokswa ( hilang secara gaib ) dan hanya serat serta babad yang bisa dijadikan rujukan untuk mengungkap sebuah awal.
Pengalaman di lapangan menunjukkan, ilmuwan kita tak banyak turba. Entah karena malas atau takut berbagai sebab di antaranya sengsara.
Sebab saat mendatangi Suku Boti ( Pulau Timor ) yang acap dihantui 'takut kualat', memasuki Yot Tomat ( Kepulauan Kei ) diliputi rasa mencekam, mengunjungi Suku Naulu ( Pulau Seram ) takut dibunuh karena jika baileo ( rumah adat ) mereka rusak memang mewajibkan tumbal manusia, dan ketika memasuki perkampungan Suku Tugutil ( Pulau Halmahera ) memang terkesan menyeramkan.
Malah untuk menguak Islam Wetu Telu di Pulau Lombok pun dibutuhkan tenaga ekstra. Itu karena terpencar di Bayan ( ritus keturunan Sunan Giri Prapen ), di Mataram ( Pura Lingsar ), Sade dan Rambitan ( tradisi dan masjid kuno ), serta di Rambanbiak ( Dasan Baru, Lombok Timur ) pusat mistik Suku Sasak yang sekaligus tinggal intelektual sekte ini.
Namun di balik kekurangan - kekurangan itu mitos mempunyai peran penting bagi lestarinya budaya bangsa. Tabu dan mistik memberi pengamanan terhadap terjaganya alam dan benda yang disakralkan. Tanpa itu, rasanya hampir bisa ditebak kekayaan ini akan musnah ditransaksikan.
Maka, lepas kita suka atau tidak suka dengan tradisi dan budaya yang ada, tapi itulah diri kita, kekayaan kita, yang terasa indah jika kita menggaulinya dengan mesra.
Dan itu salah satu sebab berbagai bangsa datang dan kagum dengan Indonesia. ( Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta )
ARTIKEL TERKAIT: