Gejolak Merapi bukanlah sesuatu yang ganas dan buas. Gerak - geriknya bukanlah nafsu angkara yang membahana, melainkan gejala yang alamiah dan biasa - biasa saja. Keganasannya bukanlah aksi, melainkan bentuk reaksi.
Reaksi yang menumbuhkan kekuatan dahsyat dalam rangka untuk mengembalikan keseimbangan alam. Dengan teori aksi - reaksi, maka kian dahsyat letusan Gunung Merapi, dapat menjadi tolok ukur kian parahnya ketidakseimbangan alam yang selama ini terjadi.
Celakanya, ketidakseimbangan alam lahir bukan akibat ulah dedemit, setan, jurik pongek, genderuwo, siluman, jim pri-prayangan, maupun binatang dan tumbuhan. Melainkan sebagai konsekuensi adanya hukum timbal - balik atas kecerobohan ulah manusia sendiri yang berdampak pada rusaknya keseimbangan alam.
Ulah manusia yang begitu ceroboh, bermula dari rendahnya kesadaran diri dalam memaknai apa sejatinya hidup dan kehidupan ini. Rendahnya kesadaran disebabkan oleh karena manusia enggan mengenali jati diri, baik jati diri bangsanya maupun jati dirinya sendiri.
Akibatnya lahirlah manusia yang tak tahu diri. Dengan karakter yang angkuh penuh kesombongan manusia telah salah sangka seolah dirinyalah yang paling tahu akan kebenaran. Terus - teruslah disemai di dalam “sarang” yang bernama nafsu angkara, maka cepat atau lambat akan meretaslah anak manusia sing seneng golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe.
Merapi bukanlah pejabat negeri ini, ia tak pernah bermain culas. Merapi adalah kehidupan. Kehidupan yang identik dengan karakter bijaksana, adil dan harmonis. Setiap Merapi mau mengganas, ia lebih dulu mengirim sinyal peringatan dengan bahasa alam yang sungguh jelas dan lugas untuk sekedar dimaknai.
Sayang sekali, sebagian orang tiada peduli dengan gejolak hati sang Merapi. Gara - gara pikiran orang sudah teracuni, dengan angkuhnya lalu menyangka bahwa mengetahui bahasa alam sebagai tindakan melawan kodrati.
Badan vulkanologi, mitigasi dan geologi enggan dituruti. Bahasa alam, gerak - gerik binatang, tumbuhan, sudah tak lagi dicermati. Bahkan hati nurani sendiri pun dikhianati. Duh Gusti…sudah begitu ndablek-nya kesadaran manusia, entah karena demi sebuah materi, menutup hati, ego di dalam diri, atau karena mimpi - mimpi surgawi.
Yang jelas bau daging terbakar dan darah gosong itu bukanlah salah Merapi. Ia tetap berada dalam rumus - rumus keseimbangan alam. Manusia cuma mau dibikin enak saja kok susah, malah manusia seringkali enggak dong apa sih yang dikehendaki alam.
Terimakasih tak terhingga kepada Merapi. Ia telah menaburkan ratusan juta meter kubik pupuk organik super istimewa kualitas tinggi. Walau ulahmu membuat jutaan mata terpana ngeri. Namun ia sedang mengembalikan tanah Jawa supaya kembali menjadi gemah ripah loh jinawi.
Setelah sekian lamanya cuaca, iklim, dan musim menjadi kacau balau, adalah harapan suatu hari nanti kembali menjadi negeri yang subur makmur indah tiada terperi. Merapi adalah anugerah vulkanik. Suatu bencana alam tidak akan menjadi musibah bilamana seluruh manusia selamat dari musibah. Bahkan di balik setiap musibah bencana, selalu disertai oleh berkah.
Tergantung manusianya apakah mau merubah musibah menjadi berkah dan anugerah, ataukah tetap membiarkannya menjadi musibah yang berbuah derita ? Semua itu adalah pilihan manusia.
Lihatlah gempa besar yang menghancurkan Bantul, Jogja, Klaten dan sekitarnya, kini telah berubah menjadi ANUGERAH TEKTONIK. Bantul menjadi daerah yang subur makmur, pembangunan begitu pesat, prasarana fisik fasilitas masyarakat seperti pasar, jalan raya, bangunan pemerintah semua tampak baru dan kokoh.
Mayoritas rumah penduduk dalam kondisi baru dengan struktur bangunan yang memenuhi standar kelayakan. Tampak aktivitas ekonomi begitu bersemangat dan dinamis. sabda langit
ARTIKEL TERKAIT: