Mati Sendirian Di Puncak Dunia 4

Saat - saat ketika Sharp mencapai impiannya adalah saat yang paling ekstrem. Dengan perhitungan waktu normal ia sesungguhnya sangat terlambat. Brice menekankan bagi para kliennya yang masih berusaha mencapai puncak hingga pukul 8.00 pagi sebaiknya segera kembali. Setelah lebih dari 12 jam di atas gunung, persediaan oksigen akan segera habis.

www.belantaraindonesia.org

Seluruh energi akan terkuras menghadapi dinginnya udara dan ia akan mengalami dehidrasi. Sharp kini harus menempuh dua mile kembali ke Gigir Timur Laut, menuruni patahan berbahaya di Exit Crack untuk mencapai tendanya.

Saat malam tiba sekitar pukul 6 petang akan membuat posisi makin sulit. Karena kecapaian ia kemudian mencapai cerukan dimana mayat pendaki India dengan sepatu boots hijau-nya terbaring abadi selama 10 tahun.

Di lokasi itulah yang terkenal dengan Green Boots Cave kisah drama ini akan berawal. Beberapa jam setelah Sharp mencapai gua itu, para pendaki yang naik sehari kemudian ( sekitar 40 orang ) mulai beranjak. Sekitar tengah malam, dua orang pendaki dari Turki melewati gua tadi.

Salah seorang mengingat bahwa Sharp sedang "duduk di depan gua disamping mayat pendaki India', terlihat sibuk dengan ranselnya. Seorang sherpa yang mendaki dengan orang Turki ini menyuruh Sharp untuk berdiri dan bergerak kembali, namun Sharp "melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa ia baik - baik saja".

Namun ketika grup orang Turki ini kembali melewati gua tadi, Sharp terlihat tidak bergerak sama sekali. Salah seorang anggota tim menyebut bahwa Sharp terbaring di samping mayat orang India itu dan mengira ia adalah juga `mayat'.

www.belantaraindonesia.org

Ketua tim pendaki Turki, Serhan Pocan juga meyakini bahwa Sharp sudah meninggal. Dua sherpa lainnya sepakat dan akan melakukan identifikasi begitu mereka turun ke bawah. "Kami yakni sepenuhnya bahwa ia sudah meninggal ketika kami bergerak ke atas."

Diantara para pendaki Himex terdapat beberapa perbedaan versi cerita. Seperti Max Chaya, pendaki dari Beirut mengatakan bahwa mereka tidak melihat Sharp sama sekali. "Saat itu begitu gelap, hanya saya dan sherpa saya –ia tidak menggunakan headlamp sedang punya saya tidak terlalu terang. "

Pendaki lainnya dari Australia Bob Killip mempercayai bahwa Sharp adalah pendaki India itu. "Saya melihat sebuah mayat dari belakang dengan tali yang masih ditangannya. Jadi saya hanya memberi kode dan berjalan melewati. Saya kira saya menyaksikan orang India itu. Ini adalah pengalaman yang cukup traumatis yakni berjalan melewati mayat. Saya hanya menunduk dan menyatakan hormat sembari terus berjalan."

Salah satu cerita yang cukup merisaukan datang dari guide asal New Zealand Mark Woodward yang memperkirakan ia bersama tiga orang pendaki dan beberapa sherpa melintasi Sharp sekitar pukul 1dini hari. Ia Nampak "duduk diatas Green Boots," begitu Woodward mengingat. `memeluk kaki seperti posisi bayi di kandungan'. Hidungnya menghitam karena radang dingin dan hanya mengenakan kaos tangan tipis dengan tanpa oksigen." Namun ia masih hidup.

Ketika Woodward dengan pendaki dan kamerawan Mark Whetu yang saat itu sedang menfilmkan pendakian, berteriak memanggil Sharp. "Whetu seperti berteriak untuk `ayoh terus bergerak, ayoh terus bergerak' sedang Woodward menggunakan lampu untuk melihat mata Sharp. "Tidak ada sebuah kedipan matapun darinya."

Karena itu mereka meneruskan langkah sembari membatin,"Oh sungguh malang nian nasibmu kawan," Lantas Woodward menambahan "Kami meyakini jikalau ia belum mati saat itu namun ia tak jauh dari saat - saat ajal.

Kami semua melihatnya dan menyadari bahwa ia berada di ujung kematian." Enam jam berlalu ketika suhu turun hingga sekitar -30C. Dari gambaran tentang kondisi Sharp sepertinya ia mengalami hypothermia dan hypoxia –atau kehausan akan oksigen juga kemungkinan mengalami penyakit ketinggian yang disebut oedema. 

Ini juga cukup menjelaskan pergantian kondisi yang dilihat para pendaki lain yang berpapasan dengannya. Kemungkinan pula bahwa ditengah hypothermia yang dialami Sharp, ia mengalami perubahan dari hypoxia. Berhasil sadar kembali hingga perutnya membeku seperti yang disaksikan beberapa pendaki berikutnya.

Sekitar pukul 7 pagi, satu jam setelah sinar menerangi, sebuah grup dari pendaki Turki yang baru saja kembali dari puncak mencapai cekungan itu dalam perjalanan turun. Salah seorang diantaranya adalah Serhan Pocan yang sebelumnya telah meyakini bahwa Sharp telah meninggal.

Pocan terhenyak ketika dilihatnya bahu Sharp bergerak. "Saya sungguh ketakutan,"begitu pengakuan Pocan sembari berusaha menolong Sharp. "Kami mencoba membuatnya berdiri dan mencoba memberinya minuman panas namun ia tidak mampu meminumnya.

Hidungnya telah beku hingga bagian dalam tubuhnya. Tangannya mengeras seperti batu. Ia masih mampu membuka kelopak mata namun tidak bisa mengucap sepatah katapun. Pocan memerikas tabung oksigen dan menemukan dalam kondisi kosong.

Saat itu Pocan mendaki bersama istrinya yang diduga juga mengalami penyakit ketinggian dan sedang dibantu turun oleh dua orang sherpa. Pocan melakukan dua kali kontak dengan radio : pertama dengan kawan pendakinya yang sedang menuruni puncak untuk mengawasi Sharp, kedua adalah tim ekspedisi lain yang mendaki puncak sehari sebelumnya.

Dari sana kemudian berangkat empat orang sherpa yang diharapkan oleh Pocan untuk membantu istrinya dan juga Sharp. Namun para sherpa itu sangat kelelahan dari pendakian sebelumnya dan hanya mampu mencapai Top Camp.  ( Peter Gilman )

 Diambil dari Majalah The Sunday Times, UK terbit 24 Sept 2006 Diterjemahkan dengan bebas oleh Ambar Briastuti untuk Belantara Indonesia. Mati Sendirian Di Puncak Dunia 5

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×