Sehari selanjutnya para pendaki menemukan ia dalam keadaan hidup dan setelah dilakukan operasi penyelamatan besar - besaran yang membutuhkan lima orang sherpa dan 50 botol oksigen akhirnya Hall berhasil dibawa turun dengan selamat.
Namun ada dua perbedaan mendasar antara situasi Lincoln Hall dan David Sharp yakni saat itu suhu di malam hari lebih hangat 20C dan Hall masih bisa berjalan. Brice tetap bersikukuh bahwa ia dalam posisi yang sulit untuk memberi bantuan berdasar gambaran Max Chaya tentang Sharp yang sudah `nyaris meninggal'.
Walaupun diakuinya cukup sulit membuat keputusan seperti itu. Tapi dalam delapan hingga sembilan jam sebelumnya ketika para pendaki berjalan melewati tubuh Sharp menuju puncak, apakah ia masih bisa ditolong ?
Ini yang agaknya menciptakan kontroversi karena Brice mengatakan bahwa jikalau ia mengetahui siapa Sharp maka ia mungkin akan melakukan upaya penyelamatan. Namun medan sangat sulit, terutama di Exit Cracks ( seorang pendaki asal India meninggal jatuh di titik ini ketika menuruni patahan pada tanggal 14 Mei ).
Namun Brice memperkirakan mungkin kesempatan masih ada."Kami mempunyai sherpa yang masih kuat, guide dan klien serta beberapa tabung oksigen. Terlebih jika saat itu masih dalam masa awal musim pendakian, maka para pendaki bisa kembali kapan saja." Namun, ia menambahkan, sejak ia tidak mengetahui Sharp maka ia tidak mencoba menanyakan lebih lanjut.
Apa yang diutarakan Brice sebagai bagian dari tanggungjawab yang dikembalikan kepada para pendaki yang melewati Sharp malam itu. Telah menjadi `perjanjian umum' menurut McGuiness bahwa,"para pendaki terkadang begitu focus pada tujuan menuju puncak" sehingga mereka tidak memperhitungkan seorang pendaki yang kelelahan dan kemungkinan memerlukan pertolongan, McGuiness kembali mempertimbangkan tentang para pendaki dari Turki yang kurang berpengalaman dibanding guide dari Himex Mark Woodward atau pendaki kamerawan Mark Whetu.
Para pendaki Turki kemungkinan tidak menyadari bahwa Sharp sedang mengalami kesulitan atau mereka mengira ia telah meninggal. Seperti diketahui hanya Woodward-lah yang mengetahui bahwa Sharp dalam kesulitan namun ia sudah tak bisa ditolong lagi. "Hasil pengamatan lapangan memang rasanya kok begitu tega namun itulah yang terjadi ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika aku dihadapkan pada kondisi yang sama mungkin respon-ku juga sama.
Jika Sharp lebih vokal dan tegas, para pendaki mungkin bisa segera berbuat sesuatu. Sharp tidak mampu memberitahu orang-orang sekitarnya hingga tak seorangpun tahu dengan siapa dia mendaki. Mencari informasi di sekitar atau di wilayah Base Camp cukup memakan waktu.
Hanya beberapa orang yang menyadari betapa ekstrem kehidupan di `death zone' dan tentang survival itu betul - betul seperti halnya meminjam waktu. Ibarat seorang yang terluka di medan pertempuran namun sangat jauh dari tenaga medis. Woodward menegaskan,"Itulah realitas yang harus dihadapi ketika berada di lingkungan Everest".
Kematian David Sharp juga membuka sebuah perdebatan di komunitas mountaineering. Disamping protes keras terhadap Brice, ia juga dikritik habis - habisan oleh banyak mountaineering websites tentang konflik antara pendaki "independent" dan ekspedisi komersial. Lainnya menuduh Brice memainkan peran sebagai Lord of Flies 2 yang memutuskan antara siapa yang hidup dan mati.
Brice bersikeras bahwa ia tidak mampu menolong Sharp dengan menunjukkan catatan dramatisnya membawa setengah dosin mayat turun dari Mt Everest dengan sukarela. Ia juga menyebut bahwa para pendaki dari Asian Trekking tidak membayar penggunaan tali yang dipasangnya termasuk pendaki lain dari Brazil yang meninggal ketika turun dari puncak tak lama setelah kematian Sharp.
Brice juga tengah mengusahakan melobi pemerintah Cina untuk menerapkan standar minimal bagi keselamatan para pendaki yang ingin menaklukan puncak dari sisi utara. Ia juga menambahkan jika Sharp saat itu membawa radio untuk melakukan komunikasi, "Kami mungkin masih mampu membawanya turun".
Perdebatan di dunia climbing juga terfokus pada David Sharp. Dalam dunia climbing terdapat dua ideologi yang terkadang tidak mudah digabungkan. Pertama adalah bahwa nasib merupakan tanggung jawab pribadi yang berada di tanganmu sendiri. Kedua adalah etika grup dimana kesetiaan dan saling membantu merupakan nilai yang saling tumpang tindih.
Barangsiapa yang memutuskan untuk mendaki seorang diri sesungguhnya menanggalkan haknya berdasar ideologi kedua sebagai bagian dari kebebasan yang diperoleh dari ideologi pertama. Sharp menunjukan perilaku ambiguitas terhadap resiko yang diambilnya.
Ia mencoba meyakinkan pada ibunya bahwa di Everest ,"Kita tidak pernah sendirian –ada banyak pendaki disana". Ini juga menunjukkan titik balik dari pendapat yang diperdebatkan dengan McGuiness bahwa ia ingin bebas dari tanggung jawab terhadap pendaki yang lain.
Mungkin inilah yang memotivasi usahanya yang terakhir –dengan memberikan pertanda awal kepada para pendaki Turki bahwa ia tidak membutuhkan bantuan mereka. Sebuah tindakan yang menunjukkan sikap egois –sikap yang telah ia tunjukkan sebelumnya.
Ambiguitas yang sama pula ditunjukkan ketika Sharp memutuskan untuk mencoba peruntungan mendaki puncak. Ketika ia mencapai Third Step, Sharp seharusnya bisa mengkalkulasi waktu seperti halnya mengerjakan matematika dasar. Ia telah berada pada ketinggian yang di sungguh luar jangkauan siapapun dalam sebuah wilayah yang tak bertuan.
Sharp telah mendaki sekitar 12 jam dan tidak bakal mampu mencapai puncak hingga tengah hari membuat ia dalam kondisi riskan dan berbahaya ketika turun.Ia kekurangan oksigen, dehidrasi, dan kelelahan yang amat sangat.
Namun satu hal bahwa mountaineering bukan sekedar matematika. Sharp pernah gagal dua kali dalam dua tahun dan terakhir bersumpah untuk tidak akan kembali lagi. Pioner Everest George Mallory -yang juga seorang guru mengalami kegagalan dua kali dalam dua tahun dan juga berikrar tidak akan kembali. Namun Mallory memutuskan kembali dan itu menjadi usahanya yang terakhir.
Di tahun 1924 ia mendaki bersama partner-nya Sandy Irvine dengan mengabaikan semua perhitungan logis. Irvine tidak pernah terlihat kembali hingga mayatnya ditemukan tahun 1999 tak jauh dari mayat Sharp saat ini berada.
Tentu saja David Sharp mengetahui cerita legenda Everest ini yang menjadi salah satu godaan bagi para pendaki dimanapun –sejalan dengan kesukaannya akan tantangan, keinginan untuk membuktikan diri, dan keputusan untuk melakukannya sendirian.
Brice bertemu dengan kedua orangtua Sharp di London pada bulan Juni lalu untuk mengembalikan barang - barang pribadi milik putra mereka. Sesuai dengan permintaan orangtua Sharp, Brice mendonasikan barang - barang lain kepada penduduk Tibet.
Mereka juga berterimakasih kepada Brice karena, "tidak menempatkan orang lain dalam bahaya untuk menyelamatkan anaknya". Kembali di Mt Everest dimana kini terbaring mayat Sharp tak jauh dari rute pendakian, bersebelahan dengan pendaki dari India dengan sepatu boots hijaunya.
Jamie McGuiness yang melewati tempat itu beberapa hari setelah kematian Sharp mengenali Sharp dari baju dan rucksak-nya. "Aku mencoba menarik ransel yang menutupi muka sambil berharap untuk bisa melihatnya."McGuiness berkata. "Aku hanya menemukan salju disana. Aku menyapu sedikit salju dari mukanya namun kepala Sharp nampak tertekuk ke belakang. Aku tak ingin menggali salju lebih dalam lagi, jadi aku tinggalkan Sharp seperti apa adanya." ( Peter Gilman )
Catatan Kaki Ambar Briastuti:
1. Crevasse adalah pecahan yang terjadi pada glasier atau padang salju yang terjadi karena kecepatan pergerakan glasier.
2. Lord of the Flies ( 1954 ) adalah novel terkenal dari peraih Nobel William Golding. Buku itu menceritakan sekumpulan anak - anak yang terdampar di sebuah pulau ; yang digambarkan mengalami perubahan dari sebuah kelompok yang beradab menjadi kelompok yang barbarian ( primitif ).
Diambil dari Majalah The Sunday Times, UK terbit 24 Sept 2006 Diterjemahkan dengan bebas oleh Ambar Briastuti untuk Belantara Indonesia.
ARTIKEL TERKAIT: