Dan ada seorang pendaki tersohor pernah ditanya kenapa kamu naik gunung? Jawabannya pun sangat singkat “Because It's Threre“..
Dialah George Leigh Mallory yang hilang bersama Andrew Irvine pada tahun 1924 saat melakukan pendakian di Gunung Everest.
Dan sampai sekarang teka - teki mengenai siapakah yang pertama mencapai puncak Everest, apakah Mallory atau Sir Edmund Hillary ( yang tercatat sebagai pendaki pertama mendaki Everest bersama Tenzing Norgay ( seorang sherpa ) pada tahun 1953 )..
“Because It’s There”, jawaban yang singkat Mallory pun menuai keritikan, seperti tulisan PECINTA ALAMOLOGI PASCAPENCINTA ALAMOLOGIE 03 oleh Ostaf Al Mustafa dan A.Indra Wahyudi.
“George Leigh Mallory, sang pendaki legendaris terkenal dengan kalimat ’Because it’s there’ ( karena ia ada disana ). Ia merupakan sosok penakluk yang akhirnya ‘tidak berhasil menemukan sisi kemanusiaannya’ di puncak gunung dan tebing. Sisi kemanusiaannya tercerabut oleh konsep penaklukan alam yang teramat diyakininya.
Alam tak memberikan hikmah apa - apa kepadanya kecuali kesan bahwa Mallory telah sukses menjadi penakluk.
”Because it’s there’ merupakan sebuah kalimat yang tak punya makna apapun bagi pembangkitan sisi manusiawi.
Kalimat itu hanya merupakan arogansi dangkal dan rendah dari emosi kesombongan manusia, yang kehilangan spiritualitas di tengah alam yang ditaklukkannya. Kalimat itu tak lebih dari suatu ’penaklukan kosong tanpa arti apa - apa’.
Ungkapan Mallory ini dijadikan kalimat kebanggaan bagi ‘Pecinta Alam’ dalam sticker, baju, pamflet dan sejenisnya. ‘Pecinta Alam’ tersebut, ’terlalu tinggi’ menilai ungkapan penaklukan tersebut.
Penilaian yang tak teramat pas, bila disesuaikan dengan arti ‘Pecinta Alam’. ‘Pecinta Alam’ sama sekali tak punya visi dan misi penaklukan apapun, kecuali ”menaklukkan arogansi diri sendiri”.
Berbeda dengan Soe Hok Gie, dalam tulisannya ” Menaklukkan Gunung Slamet”, ia menjelaskan dengan gamblang kenapa ia naik gunung,
“kami katakan bahwa kami manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari Hipokrisi dan slogan - slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan disamping itu menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi” ( Soe Hok-Gie…sekali lagi ).
Alasan nasionalis dan idealis dari Soe Hok Gie yang seorang aktivis yang sangat senang naik gunung, namun dalam tulisan - tulisan lainnya terlihat bahwa Gie juga mengalami ’semacam’ tanda - tanya, pergolakan akan makna.
Arogansi adalah saudara sulung Iblis yang bersemayam dalam hati dan pikiran manusia, sejak masa puber. ”Menaklukkan arogansi diri sendiri” memang terlalu berat, penaklukan itu harus diselesaikan hingga ajal tiba”
Sesungguhnya saat kita berhasil mencapai puncak gunung kita tidak sedang menaklukkan gunung karena memang kita tidak akan sanggup menaklukkannya.
Saat kita mendaki gunung kita hanyalah seperti mahluk teramat kecil yang sedang melewati jalur yang terdapat di lereng gunung.
Jalur yang terus membawa kita hingga menuju puncak. Ketika kita beranggapan bahwa kita sudah menaklukkan gunung, maka seolah - olah kita menganggap bahwa gunung seperti musuh yang memang harus ditaklukkan. Padahal gunung adalah tempat indah yang menghadirkan ketentraman dan kedamaian.
Banyak bukti bahwa kita tidak akan pernah bisa menaklukkan gunung. Ketika badai di gunung menghantam, apa yang bisa kita lakukan?
Kalaupun kita selamat dari berbagai bahaya saat mendaki gunung, sesungguhnya itu semua karena Tuhan Sang Pemilik Gunung.
Memang persiapan yang matang sebelum mendaki gunung adalah hal penting untuk menunjang keselamatan saat mendaki gunung, namun semuanya tetap terjadi dengan Kuasa - Nya.
“It is not the mountain we conquer, but ourselves…” Bukan gunung yang kita taklukkan, tapi diri kita sendirilah yang mesti kita taklukkan.
Saat terselip rasa sombong karena berhasil mencapai puncak, maka rasa itulah yang harus dikikis segera. Saat ada rasa bangga saat melangkahkan kaki menyusuri hutan - hutan di gunung yang lebat, maka rasa itulah yang mesti dihilangkan.
Saat diri merasa paling kuat dan paling cepat dan tangguh saat mendaki gunung, maka itulah saatnya kita segera mengintrospeksi diri.
Saat kita merasa bahwa pendaki - pendaki lain terlalu lemah dalam mendaki gunung, maka itu saatnya kita menenangkan diri dan berbicara pada diri sendiri untuk segera berhenti meremehkan pendaki lain.
Saat kita berpikiran bahwa kitalah yang paling paham tentang seluk - beluk gunung dan berbagai hal tentang kegiatan alam bebas, maka lihatlah ke diri sendiri, sehebat itukah kita?.
Saat kita merasa yang paling jago mendaki gunung karena banyaknya gunung yang sudah didaki, maka itu pertanda bahwa kita belumlah sejago itu.
Hilangkan segera rasa - rasa itu. Hilangkan sesering mungkin. Rasa - rasa itulah yang harus segera ditaklukkan. Saat kita mendaki gunung maka sebenarnya kita sedang terekspos dengan berbagai bahaya yang setiap saat dapat mengancam jiwa kita.
Ada sekian pendaki hebat diluar sana yang akhirnya kembali pada Sang Pencipta saat mendaki gunung. Artinya jika sesuatu memang sudah ditakdirkan terjadi pada saat mendaki gunung, maka jangan biarkan sesuatu itu terjadi saat kita berada dalam perasaan sombong
Bukan gunung yang kita taklukkan tapi diri kitalah yang mesti kita taklukkan. Mendaki gunung mengajarkan banyak hal tentang sikap, ego, kebersamaan, kelemahan kita, semangat, keyakinan dan banyak hal lainnya.
Jika kita memahami lebih jauh lagi bahwa kesukaan kita untuk mendaki gunung sebenarnya karena ada semacam kedekatan dan keterikatan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui media yang bernama alam.
Kita bahagia melihat pemandangan alam di gunung karena lewat alam ditanamkan ketentraman dan kesejukan kedalam hati kita. Lewat alam kita diajarkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil dan segala permasalahan hidup
Mendaki gunung memang selalu menarik, apalagi kalau sudah terlanjur “jatuh cinta” dari anak kecil sampai yang berusia lanjut, dari yang opurtunis sampai yang idealis maupun yang sekedar “asal” dan yang profesional bahkan untuk kepentingan ritual tak mampu berkelit dari ’sihirnya”.
Akhir kata, kalau dibilang lemah, saya memang lemah. Tapi sebenarnya, siapa sih di antara kita yang bisa dengan yakin 100% mengaku lebih kuat dari alam?
ARTIKEL TERKAIT: