Pada umumnya, kapasitas dari angkringan itu sekitar 8 orang pembeli, namun seiring dengan perkembangan zaman kini sudah banya angkringan yang melebarkan tempatnya. Bahkan banyak juga di daerah Jogja yang terdapat angkringan selengkap cafe.
Angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senter dibantu terangnya lampu jalan.
Meski sering dicap sebagai warung
rendahan, pada kenyataannya konsumen angkringan terdiri dari berbagai
kalangan. Mulai dari tukang becak, anak - anak perantauan, mahasiswa,
budayawan dan seniman, karyawan hingga eksekutif kadang tak sungkan
menghabiskan malam untuk menyantap makanan dan minum teh jahe ( menu
andalan angkringan ) di Angkringan.
Sejarah angkringan di Jogja merupakan
sebuah romantisme perjuangan menaklukkan kemiskinan. Angkringan di
Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama
Mbah Pairo pada tahun 1950 - an.
Cawas yang secara adminstratif termasuk
wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim
kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung
hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke
Jogjakarta.
Mbah Pairo bisa disebut pionir
angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian
diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang
kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali
berpindah lokasi.
Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini
kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan
di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang
paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.
Berbeda dengan angkringan saat ini yang
memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan
sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di Emplasemen
Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya.
Pada masa Mbah Pairo
berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting - ting hik ( baca: hek ).
Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika
menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai
Hidangan Istimewa Kampung.
Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo
hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer.
Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.
ARTIKEL TERKAIT: