Mantan penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto bahkan memberikan perhatian terhadap proses pencarian dan evakuasi jenazah Norman dan Didiek Samsu.
Seperti halnya sang penulis, saya juga belum pernah bertatap muka dengan Norman. Saya hanya merangkai jejaknya melalui tulisan - tulisan yang terserak di berbagai media cetak: koran, tabloid, majalah, dan buku.
Entah itu yang ditulis oleh Norman sendiri maupun yang ditulis orang lain mengenai petualangan yang melibatkan dirinya.
Di bilik kamar pengap, saya yang baru menjajal kegiatan alam bebas pun lelap bersama satu cita-cita: menjelajah nusantara seperti anggota Mapala UI dengan nomor anggota M-116-UI itu.
Gaya bertutur “Beruang Gunung” ( julukan yang diberikan Rudy Badil kepada Norman ) yang mudah dicerna namun tanpa menghilangkan kesan macho, membuat kisah - kisah petualangannya segera mendapat tempat di hati anak - anak muda. Ganezh sendiri adalah salah seorang pemuja Norman.
Menurut pemuda asal Palembang itu, tulisan Norman begitu hidup, terkesan mengajak kita untuk ikut bertualang bersamanya. Meskipun ada pula yang menilai kisah-kisah tersebut kontroversial dan kritis ( hal 76 – 77 ).
Bila mundur ke belakang, pada dekade 80-an, kisah - kisah petualangan memang mendominasi media cetak kita.
Dan tentunya kita bersepakat, ada satu nama yang menonjol di balik kisah - kisah tadi: Norman Edwin.
Lantaran kebanyakan ekspedisi yang dilakoninya bersama rekan - rekan di Mapala UI, Norman pun berhasil mengangkat lembaga pecinta alam kampus yang pertama di Indonesia ini.
Walhasil, nama Mapala UI semakin diperhitungkan dalam kancah petualangan.
Dalam biografi ini, Adiseno yang sekarang ini bekerja di Harian Sore Sinar Harapan menyebutkan kesannya atas karya tulis seniornya di Mapala UI itu, ”Norman berhasil mengajak kita untuk menganggap alam, tempat yang kita pilih, bukan sebagai momok yang menakutkan.”
Om No, begitu lelaki kelahiran 19 Januari 1955 itu akrab disapa oleh Achmad Rizali dan Dondy Rahardjo ( Jajo ). Pada 1984, Om No mengajak Adi mendaki Carstenz Pyramide, puncak tertinggi di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Dalam ekspedisi bertajuk “Mengenang Sahabat” ini, keduanya berhasil mencapai puncak bersama Achmad Rizali, anggota Mapala UI lainnya, dan dua anggota Klub Speleologi “Garbhabumi”, Jajo dan Yadi Sugandi. Sayangnya, penggalan kisah ini tak dapat kita nikmati dalam karya Ganezh.
Lulusan Lembaga Pendidikan Jurnalistik Indonesia ( LPJI ) Muamallat, Jawa Tengah tahun 1999 itu, terasa kurang menggali salah satu jalinan pertemanan yang sangat humanis tersebut.
Dalam karyanya ini, Ganezh membuat deskripsi ikatan emosional para sahabat Norman lebih banyak bertumpu pada riset pustaka.
Beberapa kutipan ia selipkan di antara penggalan cerita yang ia comot dari berbagai kliping tulisan mengenai sosok Norman. Ganezh memang telah menyebutkan metode penyusunan biografi setebal 310 halaman ini (hal xiii ).
Ganezh juga terasa kurang berani menuangkan hasil wawancara yang mendalam mengenai sosok Norman yang kontroversial.
Misalnya saja, mengenai hubungan Norman dengan dr RKT Kho. Kedua tokoh ini mendirikan “Specavina” pada 1980 ( hal 91 ).
Merasa tak sejalan, Norman mendirikan “Garbhabumi” di tahun 1982 (hal 92). Ganezh seperti luput menggali cerita dari para tokoh gua—di luar lingkungan Mapala UI—semasa Norman aktif, seperti Jajo, Sonny Siahaan, ataupun Effendi Soleman.
Dalam ucapan terima kasih, nama - nama tersebut tak terhadirkan ( hal xv ). Ia hanya menyebut Gatot Irawan, yang kini bekerja untuk Harian Sinar Harapan.
Walaupun meledak - ledak, Norman menjunjung tinggi rasa kebersamaan dan kesetiakawanan. Norman nyaris tak pernah absen dalam usaha pencarian pendaki yang hilang dalam kegiatan alam bebas. Dalam beberapa kesempatan, ia sempat menjadi koordinator lapangan ( hal 34 ).
Ketika hendak kembali ke Jakarta, sehabis mendaki Puncak Trikora di Papua, Norman dimintakan pertolongan oleh panitia Operation Raleigh, ekspedisi lintas budaya yang digelar di Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Maluku.
Pada medio Agustus 1987, saat kegiatan tengah berjalan, dua anggota ekspedisi mengalami musibah.
Paul Claxton, sang juru foto, dan Ashley Hyett dinyatakan hilang dalam usaha mendaki Puncak Binaia ( 3.027 mdpl ), gunung tertinggi di wilayah Maluku.
Lantaran tak didampingi penduduk Desa Kanikeh, keduanya menyimpang di sebuah punggungan ( Rona vol I No 7, Oktober 1987 ).
Bersama Ilham dari Wanadri, Norman bahu - membahu menurunkan jenazah Paul dari lereng tebing. Sebelum kedatangan Norman, usaha pencarian telah dilakukan Ilham, Lody Korua, dan Herry Macan yang juga mengikuti ekspedisi ini.
ARTIKEL TERKAIT: