Dan inilah sedikit kegiatan Belantara Indonesia pada hari Sabtu 16 April 2011. Mengetahui sekaligus mengunjungi budayawan hebat dalam dunia budaya Jawa yang sedikit demi sedikit mulai terlupakan oleh generasi penerus jaman sekarang. Kalah dengan sinetron Cinta Fitri ataupun pagelaran musik live di panggung - panggung Indonesia!
Sitras Anjilin |
"Wayang wathon merupakan pilihan alternatif yang saya ambil dan tidak keluar dari seni tradisi. Saya merasa agak gundah ketika melihat anak - anak muda tidak lagi dekat dengan wayang" kata Sitras Anjilin.
Pertunjukkan Wayang Wathon memang unik, karena selain menggunakan wayang kulit yang tidak lengkap, hanya beberapa tokoh yang memang diperlukan dalam kisah lakon yang dimainkan dan dipadu dengan permainan para aktor. Namun pertunjukkan ini tidak menghilangkan geber / kelir ( layar ). Karena itu sesekali wayang kulit juga dimainkan di belakang layar dan bolak - balik berdialog dengan aktor. Dalam kata lain, wayang waton adalah kemasan pertunjukkan teater yang berangkat dari seni tradisi dan mengambil kisah dalam cerita wayang, tetapi ditaruh pada konteks persoalan - persoalan sosial masyarakat.
Untuk menuju Tutup Ngisor melalui Kecamatan Muntilan, melaju naik ke utara. Bisa menggunakan transportasi umum, berupa angkutan desa. Namun bisa pula menggunakan kendaraan sendiri. Artinya, Tutup Ngisor terbuka terhadap lalu lintas kendaraan dari lain tempat. Dusun Tutup Ngisor memang tidak bisa di pisahkan dari gunung Merapi dan Merbabu.
Dusun ini berada di lereng gunung Merapi. Berada di dusun Tutup Ngisor seolah seperti hendak menyentuh gunung Merapi. Di sekitar dusun sawah - sawah kelihatan hijau berlumut. Sungai mengalir jernih. Melangkah di sekitar dusun dan melewati sungai - sungai jernih serta tanaman hijau, terasa berada di tempat yang menyenangkan. Damai. Penuh kebersamaan. Seperti lupa, bahwa gunung Merapi bisa meletus dan membawa malapetaka.
Sitras Anjilin didepan Padepokan Cipto Budoyo |
Habib Fadil, Andari, Panji Green, Suci |
Pada tahun 1937, Yososudarmo membangun pedepokan seni Cipto Budoyo. Seluruh kegiatan kesenian komunitas ini berpusat di Padepokan itu. Yososudarmo menjadi figur yang tidak dilupakan yang dalam praktek - kelanjutannya diteruskan oleh anak - anaknya, salah satunya Sitras Anjilin, bungsu dari 7 saudara keluarga Yososudarmo. Sitras sekarang memimpin Padepokan "Cipto Budoyo"
SITRAS ANJILIN, MENJADIKAN TUTUP NGISOR WILAYAH BER AURA KESENIAN
Seorang lelaki berambut gondrong bersimpuh di dekat makam yang berubin putih. Matanya terpejam, mulutnya komat - kamit mendaraskan doa. Sejurus kemudian, lelaki itu bangkit. Dengan tombak di tangan, ia melangkah, diikuti barisan penari Jathilan yang mengular di belakangnya.
Diiringi tetabuhan dari nyiru ( tampah ) dan linggis yang dipukul secara ritmis, barisan itu bergerak mengelilingi Desa Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Inilah puncak ritual tradisi "Suronan Tutup Ngisor". Tradisi ritual yang sudah berlangsung sejak 1937 ini selalu digelar pada tanggal 15 bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Menurut Sitras Anjilin, lelaki gondrong tadi, ritual ini semacam upacara bersih desa. "Memohon keselamatan bagi warga desa untuk setahun ke depan," ujar Sitras yang memimpin prosesi kirab Suronan itu.
Sebagai ahli waris Padepokan Tjipto Boedojo, ia memiliki tanggung jawab memelihara tradisi penting yang dimulai oleh Yoso Sudarmo sejak 1937. Yoso Sudarmo adalah ayah kandung Sitras Anjilin dan pendiri Padepokan Tjipto Boedojo. Keberadaan padepokan itu membuat Desa Tutup Ngisor berbeda dengan desa pada umumnya. Segala sesuatu di desa itu berselimut aura kesenian.
Padepokan Cipto Budoyo |
Pendopo berukuran 10 x 12 meter plus ruangan untuk menempatkan seperangkat gamelan, serta panggung pertunjukan wayang orang yang menjadi bangunan inti Padepokan Tjipto Boedojo yang dibangun pada 1997 dengan dana Rp 40 juta itu terlihat cukup megah untuk sebuah padepokan seni di lereng Merapi ini. "Bangunan ini sumbangan dari Pak Widayat yang bersimpati terhadap masa depan padepokan," kata Sitras.
Pikiran Sitras melayang ke masa silam, saat Padepokan Tjipto Boedojo mengalami masa - masa sulit sepeninggal Romo Yoso Sudarmo, 3 Maret 1990. Waktu itu, pendopo tersebut terpaksa dibongkar karena sudah sangat rapuh. Pembongkaran terjadi pada 1992. "Melihat pendopo dibongkar karena memang sudah rapuh, saya menangis," ujar Sitras. Ia makin sedih karena latihan rutin karawitan dan wayang orang terpaksa dilakukan di ruang terbuka. "Tak ada atap yang menaungi," kata bungsu dari tujuh bersaudara yang kemudian ditunjuk menjadi pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo ini.
Bersama kakak kandungnya yang bernama Bambang Tri Santoso, Sitras mulai "melangkah keluar". Ia rajin tampil di sejumlah pentas kesenian. "Undangan pentas di mana pun saya jalani. Mirip orang ngamen. Tujuannya hanya satu, menjalin hubungan sebanyak mungkin dengan orang lain," katanya.
Upayanya berhasil. Pada 1997, pelukis Widayat ( almarhum ) mengulurkan dana Rp 40 juta untuk membangun pendopo, ruang gamelan, dan panggung pementasan wayang orang. Belakangan, murid sekolah dari kalangan mampu di Jakarta, Bandung, dan Surabaya mulai tertarik tinggal selama beberapa hari di padepokan untuk sekadar merasakan secara langsung kehidupan warga desa. Mereka juga belajar menabuh gamelan dan tari di padepokan.
Dana dari usaha itulah yang digunakan Sitras untuk mengelola kegiatan di padepokan, mulai dari latihan rutin hingga mengganti kostum wayang orang yang sudah lapuk. Belakangan, Gubernur Jawa Tengah saat itu, Mardiyanto, membangun dua gapura menuju kompleks padepokan serta mengaspal jalan menuju Desa Tutup Ngisor.
Sitras tak pernah membayangkan dirinya bakal bertanggung jawab mengelola padepokan. Dia bahkan mengaku sempat tidak percaya diri. "Saya ini hanya berpendidikan kelas dua SD," katanya. Ia berhenti sekolah karena selalu sakit - sakitan. Tapi, hal tersebut tak menghambat Sitras bertolak ke Inggris guna memenuhi undangan mengajar tari pada 2008. Bersama seniman Solo, Suprapto Suryodarmo, Sitras mengajar kebebasan gerak dalam tari di Kota Brighton. Ia juga menggelar pertunjukan pendek wayang kulit di tujuh sekolah dasar di Kota Brighton. "Mereka sangat antusias. Sampai saat ini mereka selalu nelpon, minta saya datang lagi," katanya.
Andari Dan Suci di Depan Padepokan Cipto Budoyo |
Ternyata kebijakan itu salah. "Mereka kesulitan belajar gamelan dan tari karena badannya sudah telanjur kaku saat mereka memulainya setelah lulus SMP," tutur Sitras. Kini, kebijakan itu tak ada lagi. Dulu, orang tua memarahi anak-anak yang bermain-main gamelan, kini dibiarkan saja. "Bagi saya, main - main dengan gamelan itu bagian dari belajar. Asal mainnya tidak sampai merusak gamelan saja," ujarnya.
Sitras telah mengubah Desa Tutup Ngisor menjadi sebuah desa di kaki Gunung Merapi yang sarat dengan kehidupan kesenian dengan segenap kesederhanaannya.
ARTIKEL TERKAIT: