Apabila anda menjelajah lembah ini, pastikan arah yang dituju dan jalur mulainya. Beda jalan sedikit, hasilnya akan sangat berbeda. Mendaki dari lembah ini bisa mengantar ke Puncak Gede; dan menyusuri bibir kawahnya yang aktif. Tetapi, dengan arah yang berbeda, bisa juga mendaki ke Gunung Gemuruh – tempat banyak ritual orang Sunda yang melakukan ziarah.
Sedangkan jalur turun dari lembah ini bisa mengantar kita ke : Kebun teh Selabintana ( Sukabumi ), Gunung Putri ( Cianjur ), Sarongge ( Cianjur ), dan banyak lain.
Tergantung : pilihan jalan setapaknya. Berada di lembah, perhatian kita pasti tersita oleh tanaman khas daerah sub - alpin, yang di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ( TN GGP ) berkisar 2.400 - 3.020 Mdpl. Lembah ini ada di ketinggian 2.750 Mdpl.
Hanya sedikit jenis tanaman yang hidup di daerah sub - alpin, mengingat temperatur yang sangat dingin, tanaman mesti menyesuaikan daunnya menjadi kecil - kecil. Tanahnya tak banyak mengandung unsur hara. Tanah litosol, berpasir, hanya cocok untuk sedikit jenis tanaman yang berbatang kecil.
Di tempat ini, antara lain hidup Cantigi ( Vaccinium varingiaefolium ) dari keluarga Ericaceae. Cantigi bisa ditemui sepanjang jalan dari Kandang Badak ke Suryakencana.
Begitu pun dari jalur Gunung Putri dan lainnya. Area lembah ini seperti dipagari cantigi; yang pucuk daun mudanya enak dilalap. Batang Cantigi di sekitar lembah juga sering menjadi sasaran para pendaki yang kedinginan dan mencari kayu bakar.
Diantara Cantigi, kadang kita temui ki tanduk ( Leptospermum javanicum ). Sekilas, profil pohonnya mirip cantigi. Tetapi kalau dilihat dari dekat, bentuk daunnya berbeda.
Apalagi kalau sedang berbunga, tanaman ini sangat unik. Kelopak daun bunganya putih - bersih, dengan putik kecoklatan. Kecil - kecil, tapi bisa sangat ramai tumbuh di sekitar daun. Cantik sekali.
Dari sedikit jenis tumbuhan di daerah sub - alpin, primadonanya tentulah Edelweis . Tanaman ini berbunga sepanjang tahun, tetapi puncaknya pada musim kemarau, Juni –Juli.. Bunganya kering. Tapi tak tampak seperti layu, meski sudah bertahun - tahun dipetik.
Itu sebabnya, orang menyebut edelweis: bunga abadi. Edelweis sering menjadi kenang - kenangan orang yang pulang mendaki. Meskipun hal itu jelas melanggar aturan. Edelweis menjadi semacam lambang keabadian. Juga lambang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ( TN GGP ).
Entah sudah berapa ratus ribu orang berfoto di dekat pohon Edelweis Alun - alun Suryakencana ini. Entah sudah berapa banyak pasang kekasih berjanji abadi dengan memperalat bunga edelweis. Tetapi ada dugaan, edelweis di Alun - alun Suryakencana ini, tak lama lagi akan punah.
Bunga abadi ini tak akan sanggup mempertahankan keabadiannya, akibat tekanan pengunjung dan absennya tindakan konservasi. Kiri - kanan jalan setapak yang membelah lembah itu, dulu rimbun pokok edelweis. Sekarang tinggal rerumputan.
Tahun 80 - an awal, di Alun - alun Suryakencana, disediakan pondok oleh TN GGP. Supaya pendaki yang bermalam tidak perlu mendirikan tenda, dan secukupnya menghangatkan badan di dalam pondok.
Tetapi karena dingin yang menggigit ( di musim kemarau, menjelang dini hari suhu bisa lebih rendah dari 3 Celcius ), dan kesadaran yang kurang, pondok itu jadi sasaran bahan bakar.
Mula - mula pintunya dilepas untuk api unggun. Kemudian, jendela dan kusen - kusennya dibakar. Akhirnya, ada yang terlalu konyol membuat api unggun di dalam pondok. Dan seluruh pondok itu ludes dimakan api.
Kebiasaan membuat api unggun masih berlangsung sampai sekarang. Walaupun dilarang, pendaki dan penziarah yang bermalam di Suryakencana, jarang sekali yang sanggup melewatkan malam tanpa api unggun. kadang mudah di temui, serombongan penziarah yang naik tanpa izin, hanya berbekal tenda terpal tak tertutup.
Sekitar 5 orang berdesakan di tenda itu, langsung menahan angin malam. Tentu saja mereka tak sanggup tanpa api unggun. Mereka menebang Cantigi di sekitar lembah, dan menyalakan unggun sepanjang malam. Ditegur pun tak mempan.
Tekanan pada alun - alun, dan TN GGP pada umumnya, jelas berasal dari pengunjung. Kita yang menamakan diri pecinta alam, adalah ancaman paling berbahaya dari kelestarian alam.
Kalaupun tidak menebangi cantigi, tidak membuat api unggun yang bisa membakar padang edelweis, tenda kita pastilah menutup kemungkinan bibit edelweis berkembang.
Kalau sekarang diizinkan 600 pendaki per hari, teoritis ada 300 tenda yang dipasang menutupi bibit - bibit edelweis di alun - alun. Makin banyak tempat tenda dibolehkan dipasang, makin luas bibit edelweis yang tak sempat tumbuh.
Kebijakan membuat pondok itu dulu sudah benar. Dan kita, para pendaki di alun - alun Suryakencana yang membakarnya....Kebijakan untuk mendampingi bagi para pendaki, sesungguhnya juga punya alasan kuat. Tetapi para pendaki menolak.
Bukannya membicarakan tentang biaya yang perlu dikurangi, tapi pendaki menolak prinsip didampingi guide. Slogannya : Tolak komersialisasi taman nasional. Padahal, membawa sampah kembali turun saja, kita tak pernah konsisten.
Pada musim - musim pendakian, pos - pos Gede Pangrango, seperti Kandang Badak, dan juga alun - alun, menjadi seperti tempat pembuangan sampah di tengah hutan.
Kami para pecinta alam ini, memang hanya menikmati. Tetapi, apa yang kita lakukan untuk membayar kembali kepada alam. Termasuk merawat edelweis di Suryakencana? Tak ada. Kita menutup mata, bahwa bunga abadi di alun - alun itu sedang menuju kepunahan. Edelweis di Alun - alun Suryakencana, apa kabarmu?
Source Green Radio
ARTIKEL TERKAIT: