Di Nepal, gunung ini di sebut Sagarmatha atau Dahi Langit, sedangkan orang Tibet menyebutnya Chomolangma atau Qomolangma yang artinya Bunda Semesta.
Sedangkan pemberian nama Everest dalam bahasa Inggris diambil dari seorang Inggris bernama George Everest, ketika India masih menjadi koloni Inggris.
Nama Everest diberikan oleh Andrew Waugh pada tahun 1865. Andrew Waugh adalah seorang warga Inggris yang bekerja sebagai surveyor di Royal Geographical Society.
Sebuah pemberian nama yang jamak di dunia ini dengan mengenang satu tokoh agar bisa mudah di ingat.
Adalah Radhanat Sikdar, orang Bengal, India, yang dipercaya sebagai orang pertama yang mengukur gunung ini menggunakan perhitungan trigonometrik pada tahun 1852.
Jadi, menurut orang India, nama untuk gunung itu seharusnya Gunung Sikdar. Everest dipercaya memiliki ketinggian sekitar 8.850 meter, meskipun ukuran ini belum disahkan secara resmi.
Sejak dinyatakan aman untuk dinaiki, Everest menjadi gunung yang banyak diminati. Everest menjadi lokasi pendakian yang banyak diminati meskipun medannya cukup berat, belum lagi cuacanya yang terkadang tidak menentu dan suhu udara yang teramat dingin.
Edmund Hillary dan Tenzing Norgay diyakini sebagai orang pertama yang mampu mencapai puncak Everest pada tahun 1953.
Pendaki termuda yang pernah mencapai puncak Everest adalah seorang gadis berusia 15 tahun bernama Ming Kipa, yang merupakan Sherpa keturunan Nepal.
Dia mendaki dari wilayah Tibet karena Nepal melarang pendaki yang berusia dibawah 16 tahun. Sherpa adalah serombongan penduduk lokal yang berpengalaman dan bertugas mendukung para pendaki, tetapi dalam setiap publikasi nama mereka tidak pernah ikut dicantumkan.
MENGHORMATI GUNUNG
Menurut kesaksian para pendaki, gunung yang mereka daki biasanya bersih dari sampah. Negara mewajibkan para pendaki membawa plastik untuk menampung sampah yang hendak mereka buang.
Sampah harus diletakkan di tempat yang telah ditentukan dan kemudian akan diangkut dengan pesawat untuk dibuang. Jika aturan ini dilanggar, maka akan dikenai denda.
Pengelola gunung juga menyediakan tempat - tempat tertentu bagi para pendaki untuk membuang hajat, yang biasanya ditandai dengan bendera hitam.
Di luar tempat - tempat yang telah ditentukan tersebut, orang dilarang keras untuk buang hajat sembarangan. Selain itu, di setiap basecamp, pengelola juga menyediakan rumah tenda untuk menginap, lengkap dengan penghangat. Semuanya di danai dari karcis masuk dan sponsor.
Sikap menghormati gunung yang bersahaja ini berefek pada persepsi orang terhadap negara tempat di mana gunung itu berada.
Sikap ini tentu saja berasal kesadaran pentingnya gunung dalam kehidupan. Gunung tidak hanya dipandang sebagai gundukan tanah semata, melainkan juga simbol kepribadian masyarakatnya.
Bagaimana dengan gunung di Indonesia? Gunung - gunung di negeri ini belum dikelola sebagai tempat pendakian yang menyenangkan.
Tidak ada fasilitas yang memadai bagi pendaki, demikian pula dengan perilaku pendaki sendiri yang masih belum sadar lingkungan.
Realitas ini tentu saja sangat berbeda dengan perilaku leluhur zaman dulu yang terkenal dekat dengan alam. Tengoklah perilaku Suku Kubu di Jambi, orang - orang Dayak di Kalimantan, suku Tengger di Bromo, atau Suku Bayan di Lereng Rinjani, Lombok.
Alam bagi mereka adalah pelindung. Sedari dulu leluhur mengajarkan agar memperlakukan gunung dan hutan seperti makhluk yang bernyawa. Sayangnya, kisah mereka itu kini hanya terekam dalam cerita dongeng.
ARTIKEL TERKAIT: