Kalangan beragama, mulai dari Kyai, Ustad, Habib, Pendeta, Pastur dll ataupun para manusia yang tak menjalankan agama dengan penuh eksistensi pastilah meyakini adanya Tuhan sang pencipta alam ini. Dikarenakan sering sulitnya meyakini bentuk tanpa penciptanya, maka sering muncul pertanyaan - pertanyaan dari orang awam, Bila Tuhan telah menciptakan alam ini, lalu siapakah yang menciptakan Tuhan? Yang sedikit ilmiah: Bila alam raya ini ciptaan Tuhan, mestinya Tuhanpun ada yang menciptakannya, hal tersebut sesuai dengan hukum sebab akibat atau kausalitas. Hukum sebab akibat tadi begitu meyakini, bahwa setiap yang ada di alam semesta pasti ciptaan sang pencipta. Bila telah meyakini adanya Tuhan, maka mau tak mau harus tunduk pada hukum kausalitas tadi, yaitu pencipta tadi harus ada yang menciptakannya.
Kaum agamawan, baik para filosof maupun teolognya menyatakan bahwa setiap yang berwujud di alam raya ini -selain Tuhan Pencipta- merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sedangkan Tuhan itu sendiri tidak membutuhkan selain-Nya dan tidak diciptakan oleh apa dan siapapun. Dengan kata lain bahwa Tuhan Pencipta itu merupakan Zat yang eksis dengan sendiri-Nya, tidak beranak, tidak diberanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Persoalannya adalah argumen apa yang mereka gunakan untuk membuktikan keimanan dan keyakinan yang mereka pegang erat-erat tersebut? Untuk membuktikan keyakinan mereka bahwa Tuhan Pencipta itu eksis secara mandiri dan tidak membutuhkan selain-Nya, biasanya mereka menggunakan kemustahilan teori tasalsul (mata rantai yang tidak berujung). Dengan cara menggugurkan teori tasalsul tersebut, maka wujud Tuhan Yang Mandiri dapat dibuktikan secara logika.
Teori Tasalsul
Kaum agamawan dan para teolog telah menegaskan bahwa berdasarkan argumen aqli (logika) teori tasalsul itu dapat dibuktikan invaliditas dan kebatilannya. Mari kita kaji teori tersebut dan bagaimana ia dapat dibatalkan sehingga dapat digunakan untuk membuktikan wujud Tuhan.
Alam dunia dan materi ini dipenuhi oleh berbagai fenomena dan ciptaan Tuhan. Setiap fenomena dan ciptaan bisa saja menjadi illat (sebab) bagi fenomena dan ciptaan selanjutnya dan sebagai ma’lul (akibat) bagi fenomena dan ciptaan sebelumnya. Misalnya saja manusia, ayah dan ibu dapat dikatakan sebagai sebab bagi manusia sesudahnya, yaitu anak-anak dan seluruh keturunanya. Dan di sisi lain, ayah ibu tersebut juga merupakan akibat dari manusia sebelumnya, yaitu kedua orang tuanya dan kakek-neneknya. Jika kita cermati, maka premis ini tidak keluar dari dua asumsi:
Asumsi pertama, bahwa susunan mata rantai sebab akibat yang berjalan ke arah atas, nantinya akan sampai kepada satu titik yang merupakan sebab terakhir, yaitu Tuhan Pencipta, sebagai Zat Yang Mahakaya dan wujud dengan sendirinya. Tuhan ini dipandang sebagai Pencipta semua rentetan sebab akibat yang berjalan ke arah bawah.
Asumsi kedua, bahwa mata rantai sebab akibat yang berjalan ke arah atas, berjalan secara terus menerus tanpa henti, tidak berakhir dan tidak akan sampai pada sebuah titik penghujung yang dapat membendung seluruh sebab akibat tersebut. Dengan ungkapan lain yang lebih mudah, asumsi kedua ini ingin menjelaskan bahwa Anda terlahir dan wujud di alam dunia fana ini melalui kedua orang tua Anda, dan kedua orang tua Anda terlahir melalui kakek nenek Anda. Kakek-kakek dan nenek-nenek Anda terlahir melalui kakek-kakek dan nenek-nenek mereka, dan begitulah seterusnya sampai kepada Adam dan Hawa. Sedangkan Adam dan Hawa diciptakan oleh Tuhan. Tuhan pertama yang menciptakan Adam dan Hawa ini diciptakan oleh Tuhan kedua, Tuhan kedua diciptakan oleh Tuhan ketiga dan begitulah seterusnya sampai kepada Tuhan-Tuhan yang banyak sekali, tidak terbatas dan tidak berujung kepada satu Tuhan.
Asumsi semacam ini tentu ditolak oleh akal sehat. Sebagaimana maklum bahwa Tuhan itu disebut sebagai Tuhan, karena Dia memiliki sifat-sifat kuasa, mandiri, tidak membutuhkan selainnya dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Apabila Tuhan Pencipta itu diciptakan oleh Tuhan lainnya, berarti Dia tidak memiliki kekuasaan, tidak mandiri dan masih membutuhkan selainnya dalam wujud dan keberadannya. Lebih dari itu, apabila mata rantai sebab-sebab tersebut tidak terbatas dan tidak berujung, maka hal ini memestikan bahwa mata rantai tersebut tidak akan pernah terwujud, karena bagaimana mungkin sebab-sebab tersebut memperoleh wujud dari sesuatu yang tidak memiliki wujud mandiri. Dan, karena sesuatu yang tidak memiliki wujud mandiri tidak mungkin dapat memberikan wujud kepada yang lainnya.
Kemustahilan Tasalsul
Kesimpulan akhir sebagai intisari yang dapat diambil dari argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab-akibat harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi akibat, melainkan “sebab” yang mandiri. Ahli Kalam (teolog) memiliki pandangan bahwa tasalsul (mata rantai sebab-akibat yang tak berujung) itu mustahil. Atas dasar inilah maka wujud Tuhan sebagai wâjibul wujud (wujud yang mesti) dapat dibuktikan validitasnya. Artinya bahwa wâjibul wujud merupakan sebab pertama yang ada dengan sendirinya atau secara mandiri dan tidak perlu kepada wujud yang lain.
Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini. Bahkan mereka berpendapat bahwa sebenarnya masalah tasalsul ini merupakan persoalan yang nyaris badihi (gamblang) dan tidak perlu pembuktian. Karena setiap orang yang mau merenungkannya -walaupun sejenak saja- pasti ia dapat memastikan kemustahilan tasalsul tersebut. Artinya bahwa setiap wujud akibat, pasti membutuhkan sebab dan keberadaannya itu tergantung dan disyarati oleh keberadaan sebab tersebut yang berujung kepada satu sebab yang mandiri. Dan apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat; yang semuanya membutuhkan sebab, dan sebab-sebab itupun memerlukan sebab-sebab lainnya, dan begitulah seterusnya, tentu tidak akan terealisasi realitas apapun. Karena tidak logis mengasumsikan adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud mandiri yang merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut.
Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di jagad raya ini merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya, yakni wujud mandiri.
Asal wujud mahluk
Setiap makhluk hidup di alam raya ini -khususnya manusia- pasti mengakui dengan jujur dan penuh kesadaran bahwa mereka tidak menciptakan diri mereka sendiri, melainkan mereka semua mengakui adanya wujud Sang Pencipta Yang Mahakuasa yang telah menciptakan mereka. Mereka semua meyakini bahwa realitas dan wujud mereka tidak datang dari diri mereka.
Dengan mengakui dan menyadari bahwa segala maujud di jagad raya ini adalah baru (hadits) dan berasal dari wujud yang Mahakaya yang maujud dengan sendirinya, maka terhentilah rangkaian mata rantai sebab akibat pada Zat tersebut. Karena Dia-lah sebab utama atas segala akibat. Dialah Sang Pencipta Yang Mahakuasa. Setelah dibuktikan bahwa setiap makhluk itu sebelumnya tidak ada dan tidak hidup, kemudian mendapatkan kehidupan dari Sang Pencipta Yang Mahakuasa, maka dapat disimpulkan bahwa mata rantai tak berujung setiap maujud adalah sesuatu yang mustahil.
Dengan demikian, maka wujud setiap makhluk itu pasti ada yang mengatur dan menciptakannya. Dialah yang memberikan spirit dan aktivitas kepada seluruh makhluk-Nya. Dialah ujung mata rantai eksistensi sumber dari semua maujud. Dialah sebab yang mutlak yang tidak diakibatkan oleh sebab lain karena Dia bersifat azali (tidak bermula). Dasar keyakinan tersebut adalah argumen rasional yang menggugurkan teori mata rantai (tasalsul) sebab akibat yang tak terbatas. Dialah yang merupakan realitas yang ada dengan sendirinya; tidak bergantung kepada realitas yang lain. Maka realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Lantaran, apabila sesuatu itu ma’dum (tiada) pada masa tertentu, maka hal ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentu, jika sebab atau syarat itu tidak ada, maka sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap makhluk di jagad raya ini membutuhkan sebab. Namun, berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Tuhan Pencipta pun mempunyai sebab.
Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, tetapi realitas yang bersifat mumkin. Dengan kata lain, bahwa setiap realitas “yang tidak berdiri sendiri” membutuhkan sebab. Sedangkan realitas Tuhan Yang Mandiri tidak membutuhkan sebab. Sebab, jika realitas Tuhan Pencipta itupun memiliki sebab, maka akan terjadi tasalsul. Sementara tasalsul telah dibuktikan invaliditas dan kebatilannya.
Permulaan alam
Apabila telah terbukti bahwa alam semesta ini tidak menciptakan dirinya sendiri, tetapi membutuhkan Tuhan Pencipta, lalu, -dapatkah bedasarkan prinsip-prinsip ilmiah- awal mula keberadaannya itu ditentukan sehingga dapat dipastikan keterciptaanya?
Para filosof muslim telah membuktikan secara rasional bahwa alam raya ini dengan segala isinya adalah sesuatu yang bermula. Setelah ditemukan hukum kedua termo-dinamika, maka semakin mudah bagi mereka untuk memastikan hal itu. Tema ini dibahas demi menyangkal pendapat tentang “keazalian dan keabadian alam”. Kaum materialis berpandangan bahwa materi pertama dalam alam memiliki energi dan gerak secara terus menerus tanpa henti.
Sir Isaac Newton adalah ilmuwan pertama yang menemukan materi dan energi. Ia memastikan bahwa alam bermula menuju fase chaos, dan energi panas alam akan sama.
Dari premis ini disimpulkan bahwa alam mesti bermula. Kesimpulannya tersebut ia peroleh setelah meneliti fenomena panas. Ia yakin bahwa perubahan apapun yang membantu menciptakan panas haruslah muncul dari elemen positif menuju elemen negatif, tetapi tidak sebaliknya. Inilah hukum kedua termo-dinamika.
Paul Teizman (pakar matematika) berkeyakinan bahwa hukum kedua termo-dinamika merupakan suatu kasus khusus yang dikecualikan dari kaidah universal. Ia juga menambahkan bahwa terjadinya pergerakan dan perpindahan itu akan mengakibatkan keruntuhan sebagian sistem. Demikian pula halnya dengan energi panas. Unsur-unsur positif yang berubah menjadi unsur-unsur negatif akan mengakibatkan runtuhnya sistem keteraturan dalam setiap partikel dan sel-sel secara perlahan yang akan berakhir dengan kematian.
Hukum kedua termo-dinamika entropy juga menjelaskan kepada kita bahwa panas akan selalu berpindah dari benda yang bersuhu panas tinggi menuju benda yang bersuhu panas rendah, tetapi tidak sebaliknya.
Jika diasumsikan bahwa alam raya ini tidak bermula, maka segala bagian bumi akan memiliki derajat panas yang seimbang dan unsur-unsur positif tidaklah tersisa hingga saat ini. Karena proses kimia akan berhenti, dan sebagai akibatnya, kehidupan di muka bumi ini akan berakhir. Namun kenyataanya, hingga saat ini kehidupan kita masih terus berlanjut sampai batas waktu yang dikehendaki Tuhan.
Jika diasumsikan bahwa alam raya ini memilki sifat azali tanpa membutuhkan Sang Pencipta, hal ini memestikan adanya materi pertama yang menciptakan dirinya sendiri dan mengadakannya dari ketiadaan, lalu merancang sistem pengaturan yang cermat dan stabil bagi dirinya. Asumsi semacam ini tidak akan bisa diterima oleh setiap orang yang berakal sehat.
ARTIKEL TERKAIT: