Dunia pendakian gunung salju seakan terhenyak. Sejumlah pendaki pun mencibir. Mereka bilang, mana mungkin itu dapat dilakukan. Komentar miring lainnya: itu sama saja dengan tindakan bunuh diri. Meski dianggap “gila”, Messner jalan terus. Ia tetap memegang prinsip: jalani dulu tanpa harus banyak bicara.
Cibiran dan cemoohan itu terlontar gara - gara Messner mengutarakan keinginan untuk mendaki gunung di kawasan Himalaya dengan gaya pendakian tradisional di kawasan Alpen, Eropa. Prinsipnya, dalam pendakian ini seorang pendaki hanya berbekal peralatan secukupnya dan melakukan pendakian ala kebut gunung.
Persiapan fisik dan mental pendaki sudah dilalukan sejak jauh hari. Begitu sampai di kaki gunung waktu aklimatisasi – penyesuaian diri dengan kondisi sekitar - juga tak lama. Hasilnya, waktu pendakian lebih singkat dan tak ada persiapan rute yang final. Paling penting: “haram” memakai tabung oksigen. Selanjutnya, gaya ini disebut gaya alpina.
Sebelum gaya ini populer, para pendaki dunia memakai gaya pendakian Himalaya. Mereka dibekali dengan berton - ton peralatan, logistik dan punya waktu ekspedisi yang panjang. Tentu saja, semua kebutuhan tadi dibawa porter yang jumlahnya dapat mencapai ratusan orang. Saat tiba di kemah induk ( base camp ), tim pendaki melakukan proses aklimatisasi. Beres semua itu, lalu mulai berjalan naik untuk membuka Kemah I dan seterusnya.
Untuk menerapkan gaya alpina di Himalaya, Messner menunjuk puncak gunung Gasherbrum I yang dikenal sebagai “Hidden Peak”. Gunung ini punya titik tertinggi 8.068 meter dari permukaan laut ( mdpl ) dan berlokasi di wilayah Pakistan dan Cina. Pada 1975, lelaki yang sempat kuliah di Universitas Padua, Italia mengajak Peter Habeler untuk bergabung dalam ekspedisi ini.
Pada 8 Agustus 1975, Messner dan Habeler memulai pendakian. Keduanya tak bawa tali, tabung oksigen dan hanya berbekal alat panjat pribadi. Hari kedua, mereka tiba di bawah dinding es curam setinggi 1.000 meter. Kemah berikut berdiri setelah lewat dinding tersebut. Messner dan Habeler pun melakukan pemanjatan kilat.
Usai pemanjatan gila - gilaan itu, keduanya terserang rasa lelah yang hebat. Saking capeknya, memasang tenda pun terasa sangat sulit. Apalagi acara makan tak ada dalam agenda pendakian. Hari berikutnya, mereka meninggalkan perlatan dalam tenda. Penyerangan puncak ( summit attack ) dilakukan dengan hanya membawa kapak es ( ice axe ), crampoons, kamera dan peralatan medis.
Pada hari yang sama, kedua pendaki handal ini meraih puncak. Peter Habeler tiba lebih dulu. Messner menyusul beberapa menit kemudian. Seperti lazimnya pendaki, Messner mengabadikan Habeler saat berada di puncak. Asyiknya, cuaca amat cerah dan mereka pun berpelukan. Wow!
Apa yang didapat ekspedisi Messner dan Habeler itu? Ini merupakan sukses kedua dalam usaha mencapai puncak Gasherbrum I. Namun, yang pertama dengan gaya alpina murni dalam pendakian gunung di atas 8.000 mdpl. Bagi Messner, pada saat itu, tercatat sebagai orang pertama yang sudah menjejak puncak di atas 8.000 mdpl: Nanga Parbat ( 8.125 mdpl ), Manaslu ( 8.156 mdpl ) dan Gasherbrum I.
Begitu pendakian beres, Walter Bonati mengucapkan selamat via telegram: “Pendakian alpina yang hebat sekali. Anda berdua adalah satu - satunya orang dalam tahun ini yang berhasil menekan batas maksimal petualangan.”
Terus Berpetualang
Messner tak pernah puas. Ia tetap menorehkan rekor lainnya dalam dunia pendakian. Sebut saja, orang pertama yang sukses menyapu bersih 14 puncak gunung di atas 8.000 meter, orang ketiga yang meraih gelar “pendaki tujuh puncak dunia”, pendaki pertama yang melakukan pendakian solo dan tanpa doping oksigen untuk meraih puncak Everest dan lainnya.
Pria yang meyakini keberadaan yeti – sejenis makhluk yang menyerupai beruang di Tibet – tak hanya dikenal sebagai pendaki gunung. Pada 1990, ia sukses melintasi benua Antartika dengan jalan kaki selama 92 hari via the South Pole sejauh 2.800 km. Dau tahun berikut, melintasi gurun Takla Maran, lalu ekspedisi ke Greenland sejauh 2.200 km.
Di balik sukses tentu ada pula cerita sedih. Kesedihan pertama Messner ketika berekspedisi ke Nanga Parbat, Pakistan. Di situ, petualang yang juga pintar memotret dan menulis buku itu harus menerima kenyataan, sang adik – Gunther Messner – meninggal dunia. Gunther tewas lantaran kejatuhan salju longsor ( avalanche ) di dekat kemah induk. Padahal, keduanya sudah menjejak puncak via dinding Rupal ( Rupal Face ). Untuk melupakan kejadian itu, Messner butuh waktu bertahun - tahun.
Tragedi kedua terjadi di Manaslu ( 8163 mdpl ), Nepal pada 1972. Messner dituduh menjadi penyebab hilangnya dua rekan pendaki dalam tim ekspedisi yang dipimpin Wolfgang Nairz. Franz Jager hilang dalam perjalanan turun bersama Messner. Raga Jager tak juga ditemukan setelah hilang dihantam badai salju. Dalam usaha pencarian itu, anggota ekspedisi lainnya: Andi Schlick ikut menghilang. Messener dan Horst Frankhauser sudah mencari, namun hasilnya nihil. Maklum saja, kondisi cuaca pada saat itu betul - betul buruk.
Usai pendakian, sejumlah tulisan menyalahkan Messner. Sialnya, tulisan itu dibuat oleh orang-orang yang belum pernah berekspedisi ke gunung 8.000 meter. Seluruh anggota tim mendukung Messner untuk menulis cerita yang sebenarnya. Namun, ia kadung trauma. Sejak itu, ia berjanji tak lagi ikut dalam ekspedisi berjumlah besar.
Messner juga sempat gagal menggapai Lhotse ( 8516 mdpl ), Nepal / Cina pada 1975. Lalu gagal pada pendakian ke Makalu ( 8463 mdpl ), Nepal / Cina tahun 1986. Tapi masih dalam tahun yang sama, kedua “hutang” tadi langsung dibayar lunas.
ARTIKEL TERKAIT: