Menurut catatan sejarah, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia dan menimbulkan tsunami terhebat sebelum bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Bahwa semburan lahar dan abu Gunung Krakatau waktu itu mencapai ketinggian 80 km, sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Ledakannya menimbulkan gelombang pasang setinggi 40 meter dan menyapu bersih pantai sepanjang Teluk Lampung dan pantai barat daerah Banten.
Sedikitnya 36.000 orang tewas waktu itu dan suara letusannya disebut-sebut terdengar hingga di Singapura dan Australia. Letusan Kratakau juga menimbulkan rangkaian gempa bumi yang menjalar sampai ke Australia selatan, Srilanka dan Filipina. Gunung Krakatau Lama ( purba ) tingginya kala itu mencapai 2.000 meter dengan radius 11 km. Ketika meletus, ledakannya mengakibatkan tiga perempat tubuhnya hancur dan menyisakan gugusan tiga pulau kecil yaitu Pulau Sertung, Pulau Panjang dan Pulau Krakatau Besar.
Empat puluh empat tahun kemudian lahir cikal bakal Anak Krakatau. Disebutkan bahwa sekitar tahun 1927, para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda, tiba-tiba terkejut dengan kemunculan kepulan asap hitam di permukaan laut di antara tiga pulau yang ada.
Setahun setelah kemunculan asap itu, muncullah Gunung Anak Krakatau. Hingga kini, Gunung Anak Krakatau terus “tumbuh”, dan ketinggian telah mencapai 280 meter dari permukaan laut.
Menjaga kelestarian alam Anak Krakatau
Anak Krakatau sebenarnya memang bukan sekadar daerah wisata, melainkan yang utama adalah fungsinya sebagai cagar alam. Anak Krakatau merupakan “harta paling berharga” bagi ilmu pengetahuan, karena kemunculan gejala gunung berapi dari dalam laut sungguh fenomena sangat langka di dunia.
Ekosistem Gunung Anak Krakatau yang saat ini terus berevolusi, dijaga sangat ketat kelestariannya. Hanya empat tujuan seseorang diperbolehkan menginjakkan kakinya di Anak Krakatau, yaitu melakukan penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan dan penunjang budidaya.
Pengaturan ketat tersebut dilakukan terhadap Gunung Anak Krakatau mengingat kian hari kian banyak wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Banyaknya wisatawan ke Gunung Anak Krakatau, karena rute untuk mencapainya cukup mudah, yakni lewat Pelabuhan Canti, Kalianda, Lampung Selatan.
Dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung, hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapai Pelabuhan Canti, Kalianda, pelabuhan nelayan yang terdekat dengan Krakatau. Wisatawan, dari Canti menyeberang ke Pulau Sebesi, pulau berpenghuni terdekat dengan Krakatau. Dengan menggunakan perahu sewaan, Anak Krakatau dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam dari Pulau Sebesi.
Jalur Utama
Dari Bandar Lampung melalui terminal Bus Rajabasa atau terminal Panjang menggunakan bus jurusan Kalianda, Lampung Selatan yang menempuh perjalanan sekitar 50 menit. Dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Desa Canti sekitar 10 - 15 menit.
Jika dari Pelabuhan Bakauheni menggunakan bus jurusan Kota Kalianda ( 45 menit ) dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Desa Canti. Dari Dermaga Desa Canti menggunakan kapal motor rakyat yang dapat disewa ke Kepulauan Krakatau lebih - kurang 160 menit atau kapal cepat sekitar 90 menit.
Krakatau yang sudah menjadi Daerah Konservasi Alam maka untuk masuk ke Krakatau harus meminta ijin lebih dulu ke Balai Konservasi Lampung dengan membayar administrasi sebesar Rp 150.000. Dan untuk paket wisata Krakatau biasanya dipatok harga Rp 2.600.000 sampai Rp 3.000.000 untuk grup maksimal 10 orang. Bahkan kalau wisatawan asing harganya bisa lebih.
ARTIKEL TERKAIT: