And We Won't Get It Back When We Die

And We Won't Get It When We Die, sebuah karya tulisan dari Para Sherpa Belantara Indonesia Divisi Psikologi, Indiah Wahyu Andari S.Psi yang kami ambil tanpa kami edit dari laman jejaring sosial milik beliau, dengan harapan bisa menjadi acuan dan tutorial, bahwa jangan ada ucapan menyerah dan selalu mengingat hari akhir walau apapun yang terjadi, karena ada Tuhan Maha Segalanya, dan Maha Pengabul semua permintaan baik.


Sahabatku, aku ingin berbagi denganmu sebuah cerita. Mungkin ini hanya kejadian biasa saja. Tapi bagiku, dengan kemampuan inteligensiku yang terbatas ini, malam itu sungguh membekas dan mengesan. Hingga jika kuhadapi suatu keadaan yang sulit, ingatanku melayang pada malam itu dan aku merasa segalanya baik - baik saja.

Malam itu adalah tengah malam saat mulai pergantian tanggal ke hari Jumat, 5 November 2010. Banyak orang di Jogja mungkin tidak akan melupakan tanggal bersejarah itu. Dimana Tuhan menunjukkan salah satu kekuasaan-Nya dengan sebuah letusah maha dahsyat gunung berapi Merapi yang menelan harta benda, lingkungan alam, dan korban ribuan jiwa. Bagiku, tanggal itu juga bermakna khusus, karena saat itu juga tepat seperempat abad bagiku menghirup nafas di muka bumi ini.

Sudah berminggu sebelum malam itu terjadi, keluargaku dan masyarakat di daerah sekitar merapi terteror oleh gejala bencana yang panjang. Hujan abu yang lebat, kadang disertai pasir, dan suara gemuruh serta dentuman sesekali yang tak kunjung berhenti mengusik sesiapa yang mencoba terlelap sekedar meletakkan penat dan letih. Teror itu semakin menjadi ketika malam hari, saat merapi menyembunyikan diri dalam gulitanya. Bumi bergetar, kaca berderak, banyak yang berjaga, banyak yang terjaga.

Ini adalah perang antara takut, pasrah, dan takjub…

Gunung itu memang mampu membius kami untuk terus mengagumi keganasannya. Keindahan ancamannya. Dan memang, keluarga dan sebagian tetangga - tetanggaku masih saja di rumah hingga saat malam itu mendekati puncaknya. Sebenarnya kami enggan beranjak jika tidak ada petugas yang datang ke rumah dan meminta kami semua untuk berkemas.
Indiah Wahyu Andari S.Psi

Rumah kami berjarak sekitar 11 km dari puncak. Dan kami bergerak ke rumah keluarga yang berjarak 15 km dari puncak ( jika dipikir lagi sekarang, tampaknya kok memang tidak terlalu niat untuk mengungsi ^_^’ ). Itu adalah pukul 9 malam. Dan kami pun bercengkrama di rumah Pakdhe Slamet. Adalah keluargaku, bapak, ibu, aku, Simbah kakung - putri, Bulik Sri, Pak Dul dan dua sepupuku Dik Nita, minus masku yang naik motor dan Dik Asti yang nginep di rumah temannya. Pakdhe Slamet di rumah bersama Budhe, sepupuku Mas Haryo dan iparku Mbak Anis yang baru mengandung tujuh bulan, juga Mbah Noto, ayah dari Budheku yang sudah gerah sepuh sehingga tergolek saja di tempat tidur. Kami bercengkrama panjang hingga mengantuk dan tertidur karena listrik mati.

Dan tengah malam, Handphone-ku berdering nyaring. My dear Kak Umar, menyapa dari kejauhan dan mengucap, “happy birthday…” Sesaat aku tertawa bersamanya, mengobrol sejenak, terbangun, sambil masih menempelkan handphone di telinga, kakiku melangkah ke dapur. Menjumpai Mbak Anis yang duduk saja sambil mengunyah satu dua camilan. “Mbak, kok ra bobok? ( Mbak, kok nggak tidur? )” tanyaku. “Aku ra iso turu dek, sudah berhari - hari ini, bayine yo terpengaruh je.” Kasihan mbak iparku yang asli Solo ini. Belum pernah mengalami gunung meletus, sekali mengalami ini langsung dahsyat. Sudah tiga hari dia tidak bisa tidur, bahkan si kecil pernah tidak bergerak sama sekali dalam perutnya.

Kami mengobrol sejenak hingga tiba - tiba… DHUAAAARRR!!! Bumi berguncang, atap dan kaca berderak, sesaat aku terkesima. Kurasa Mbak Anis juga. Aku pun mengakhiri percakapan di telepon genggam dengan Kak Umar. DHUAAAARRRR!!! Terulang lagi, kami ke depan, seluruh keluargaku sudah terbangun. Pakdhe, Bapak, dan Simbah Kakung menenangkan kami semua, dan… DHUARRR!!! Seingatku tiga kali letusan itu terjadi. Selang berapa saat kemudian, terdengar suara kerikil - kerikil jatuh di genteng. Bulikku berteriak… “hujan kerakal…!!!” Kami pun sepakat segera melakukan pelarian.

Simbah - simbah segera diangkut ke mobil. Yang lain menunggu di dalam. Saat itu juga kami menyadari bahwa hujan deras yang turun itu bukanlah hujan air, melainkan hujan lumpur pekat…. Dan mobil tertutup lumpur, wiper tidak dapat bergerak. Simbah di mobil bersama Pak Dul. Tidak bergerak. Semua tertegun. Dan akhirnya bersepakat untuk menunggu saja di dalam rumah, karena toh sama saja, naik mobil percuma tidak dapat bergerak. “Wes, waton bukan awan panas ora popo,” kata bapakku menenangkan kami semua.

Dan telepon dari para keluarga berdatangan. Semua cemas. Begitupun teman - temanku. Tapi kami tak bisa apa - apa. Tak bisa bergerak,,,

Dalam keadaan yang mencekam, dan terancam, dan mungkin hitungan jam lagi atau menit, kami menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bayangan buruk tentu saja datang. Jika tiba - tiba awan panas datang, atau lebih buruk, lahar panas. Mungkin episode hidup keluarga kami sudah hampir berakhir.

Dan saat itu rasanya maut sedemikian dekatnya. Dan tiba - tiba tak ada urusan yang begitu pentingnya selama ini… permasalahan dengan satu orang dan orang yang lain menjadi tidak penting lagi. Urusan yang mendesak dan menjadi masalah sudah tidak berarti.

Tapi bersama keluarga juga, saat itu aku merasakan ketenangan yang luar biasa. Bapak, simbah, pakdhe, semua mengatakan bahwa tidak akan terjadi apa - apa. Dan semua tenang. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi kami semua tenang. Bahkan aku kagum saat melihat Pakdhe menenangkan anak - anaknya dan keluarga kami yang panik menghubungi di telepon, atau bapak yang mengabarkan masku sudah lari ke bawah, simbah - simbahku yang menunggu di mobil dengan tenangnya, dan aku pun jadi ketularan menenangkan teman - temanku yang menghubungi juga lewat handphone.

Akhirnya hujan deras berupa lumpur dan kerakal pun berlalu. Sekitar pukul 3 pagi kami keluar rumah dengan dua mobil. Jalan pelan - pelan dan sesekali berhenti melap kaca depan. Kami ke rumah saudara di daerah Candi, 20 km dari puncak. Dan langsung tertidur, letih. Paginya pulang dalam keadaan daratan yang sepenuhnya tertutup lumpur. Keluarga kami pun bertahan hingga hari minggu dan mengungsi di daerah Maguwo hingga selama kurang lebih 2 minggu.

Selama masa mengungsi itu, diam - diam kami sering pulang ke rumah. Setiap kali pulang, aku tertegun menyadari suatu keadaan yang sepi, kosong, namun tidaklah hampa. Sepertinya alam sedang menghela nafas bersyukur terbebas dari manusia. Alam beristirahat, setelah manusia tak henti mengeruk dan menyakitinya.

Tidak ada aksi heroik memang. Hanya sebuah keluarga yang terhindar dari amukan gunung atas ijin Yang Maha Kuasa. Sungguh semua atas ijin Yang Maha Kuasa, karena ada banyak keluarga yang seperti kami dan tidak beruntung, bahkan jaraknya lebih jauh dari puncak gunung dibanding kami. Semoga mereka semua tenang di sisi-Nya.

Sahabatku, jika ada satu urusan yang menghimpit hidupmu saat ini, janganlah bersedih. Tuhan tidak pernah tidur dan Maha Kuasa kalaupun cuma untuk mengubah nasibmu. Jika ada masalah dengan orang per orang, segeralah meminta maaf. Jika ada hak - hak yang belum kita penuhi, segeralah dipenuhi. Tidak perlu menyimpan benci, dendam, dengki, ataupun iri pada orang lain. Sahabat dan keluarga adalah kunci hidup dan kehidupan. Tak ada urusan di dunia ini yang begitu pentingnya ketika maut sudah di depan mata. Dan karena kita tidak akan mendapatkan semuanya kembali ketika kita mati.

………

'Coz nothing's worth losing
Especially the chance to make it right


And I know that we're gonna be fine


And the tattooed mistakes


Are gonna fade over time


As long as we live, time passes by
And we won't get it back when we die

( Bowling For Soup )


Terima Kasih, Indiah Wahyu Andari S.Psi


ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×