Tetapi, dua arca batu yang salah satunya terpenggal kepalanya ini masih diliputi misteri. Termasuk siapa dua tokoh arca ini dan mengapa di buat.
Penemuan kembali Arcopodo telah mengonfirmasi banyak hal. Selain bahwa foto nampang pendaki kawakan, Norman Edwin, bersama arca ini benar adanya,
Arcopodo juga menjadi penanda jejak pendakian suci di masa lalu menuju Puncak Mahameru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Salah satu kendala untuk meneliti Arcopodo ini adalah sulitnya menjangkaunya. Bahkan, di beberapa literatur dan catatan perjalanan pendakian ke Semeru, Arcopodo statusnya dianggap hilang.
Norman Edwin Dan Arcopodo |
Sejak publikasi berupa tulisan dan foto yang menggambarkan keberadaan dua arca ini oleh pendaki Mapala Universitas Indonesia, Norman Edwin, pada 1986 di Suara Alam, arca ini tak pernah lagi disebut - sebut. Norman pertama kali datang ke Arcopodo bersama rekannya, Herman O. Lantang.
Keduanya diantar oleh Tumari, cucu juru kunci Semeru pada waktu itu. Tumari yang memberi tahu Norman dan Herman bahwa kedua arca batu itu benar ada di Semeru.
”Reco itu sesungguhnya masih ada. Tempatnya memang di sekitar Recopodo, tetapi tidak terlihat orang,” ujar Tumari, sebagaimana ditulis Herman dalam buku Soe Hok-Gie, Sekali Lagi, 2009.
Bagi Dwi, keberadaan arca kuno di ketinggian itu sebenarnya cukup aneh karena di gunung tinggi, semuanya dianggap suci karena itu sudah tidak dibutuhkan bangunan suci.
Meskipun demikian, jika dilihat dari bentuknya, keanehan menjadi terjawab karena terkait dengan fungsi dari tempat arca tersebut.
Dengan memperhatikan detail foto arca yang kami ambil, Dwi menyimpulkan, salah satu arca itu adalah sosok Bima.
Dia kemudian membandingkan dengan foto arca Bima di Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu. ”Badan dan tangannya mirip Bima. Jika memang benar Bima, itu sangat masuk akal karena Bima adalah perwujudan tokoh untuk tolak bala,” kata Dwi.
Dengan demikian, tempat tersebut merupakan pemujaan yang difungsikan untuk ritual menghalau bencana dari puncak Gunung Semeru yang aktif.
Arcopodo |
Jejak di Ranu Kumbolo bisa dilacak tahun pembuatannya karena adanya prasasti, sedangkan di Arcopodo tak terlacak sama sekali kapan pembuatannya.
Menurut Dwi, sesuai namanya Arcopodo sebenarnya berasal dari kata arca dan pada, yang dalam bahasa Jawa yang terpengaruh Sansekerta, pada artinya tempat. ”Jadi, arca pada adalah tempat arca,” katanya.
Arcopodo, sudah mendekati daerah berpasir hasil muntahan dari kawah Semeru. “Itu adalah satre tertinggi karena di atasnya sudah berupa pasir dan menuju puncak. Jadi perjalanan ke puncak gunung merupakan ritual yang sangat utama,” jelas Dwi.
Menurut Dwi, di kedua satre di Gunung Semeru itulah mereka melakukan ritual. Ranu Kumbolo tak hanya tempat upacara, tetapi juga tempat pengambilan air.
Karena itu, di prasasti Ranu Kumbolo disebutkan tentang tirta yatra, yaitu perjalanan ke air atau tirta ( ranu ).
”Prasasti Ranu Kumbolo kemungkinan dibuat pada masa Kerajaan Kadiri atau pada akhir abad ke - 12, sedangkan Arcopodo lebih muda lagi, di era Majapahit,” kata Dwi.
Di sekitar Ranu Kumbolo juga ditemukan reruntuhan candi. ”Menandakan pendakian spiritual ke Semeru itu sudah ada sejak dulu, diduga jalur lamanya melewati Ngadas,” katanya.
Perjalanan spiritual ini, menurut Dwi, mirip dengan akhir kisah Mahabarata ketika Pandawa yang menuju ke suwarga loka di puncak gunung.
Gunung Semeru, seperti disebut naskah kuno Tantu Panggelaran, yang dibuat sekitar abad ke - 15, awalnya merupakan gunung suci yang berasal dari Gunung Meru di India dan dipindahkan ke Pulau Jawa.
ARTIKEL TERKAIT: