Buku ini merupakan buku ketiga setelah buku Sudirman Range Trail: Lenskap Misterius di Indonesia Timur ( 2010 ) dan buku kedua berjudul Pucuk Es di Ujung Dunia: Pendakian 7 Puncak Benua ( 2011 ) yang dieditor oleh Rudy Badil dan Sani Handoko dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.
Buku berisi 199 halaman dicetak full colour ini memuat perjalanan empat orang pendaki, yaitu Sofyan Arief Fasha, Xaverius Frans, Broery Andrew Sihombing, dan Janathan Ginting yang menyatakan diri sebagai "The Seven Summiters" pertama Indonesia. Mereka mengklaim mewakili negara ke - 53 yang telah menempatkan pendakinya sukses mendaki tujuh gunung tertinggi dunia.
Tujuh puncak gunung tertinggi dunia yang berhasil didaki tim Mahitala adalah Cartenz Pyramid (4.884 mdpl) di Papua, Indonesia; Kilimanjaro ( 5.895 ) , Afrika; Elbrus ( 5.642 ) Rusia; Vinson Massif ( 4.889 ) Antartika; Aconcagua ( 6.962 ) Argentina; Everest ( 8.848 ) di Nepal serta yang terakhir adalah Denali ( 6.194 ) Alaska.
Buku ketiga ini menampilkan gambar dan cerita menarik pendakian ke tujuh gunung itu. Salah satu cerita juga mengisahkan pengalaman Tim Mahitala antre menuju Everest.
Dalam buku ini, Tim Mahitala Unpar mengungkapkan cara membuat manajemen ekspedisi fleksibel dalam sebuah tim kecil bergerak efektif dan efisien, termasuk mendapatkan dukungan dari sponsor, serta pesan pendakian tujuh puncak dunia harus berhasil dalam sekali kunjungan. ”Tidak boleh ada kunjungan kedua sebuah negara yang mewakili masing - masing puncak yang kami sebut ''One Hit One Victory''," kata Audy Tanhati dari tim publikasi Mahitala.
Ketua tim ekspedisi, Sofyan Arief Fesa, mengaku setiap personel memiliki pengalaman berbeda saat pendakian. Selama dua bulan pendakian di gunung Everest pada Mei 2011, ia sempat mengalami kemunduran motivasi, “Namun segera fokus dan semangat kembali,” kata pria yang disapa Ian ini.
Xaverius Frans memiliki pengalaman mengesankan setelah berhasil mencapai puncak Denali, Alaska, Amerika Serikat, yang merupakan pendakian terakhir ekspedisi. Denali yang dalam bahasa suku asli Alaska, Indian Athabaska, berarti ''Yang Tinggi'' ini cukup berbahaya ketika tim hendak turun mencapai base camp. “Gletser mudah meleleh sehingga kami hati - hati,” kata Frans. Para pendaki mancanegara memutuskan tinggal selama seminggu. Namun, pada hari ketiga tim memutuskan turun.
Broery, personel yang sampai lebih dulu di Gunung Denali ini ( ekspedisi terakhir Seven Summits ), menceritakan pengalamannya mengatasi rasa dingin sampai minus 45 derajat di Gunung Visson yang tertinggi di Antartika ini.
Di sisi lain, Janatan Ginting punya pengalaman menarik saat pendakian Aconcagua, Argentina. Pria yang disapa akrab Atan ini sempat dilarang naik karena ada masalah di paru - parunya.
“Saya merasa kuat, sempat agak melawan ketika dokter bilang ada bunyi krok krok di paru paru saya,” kata Atan yang mencoba menghadapi kenyataan. Dia harus tinggal di base camp, sedangkan tiga temannya berangkat ke atas. Dalam tempo sebulan, Atan akhirnya berhasil mencapai puncak.
Dari semua puncak gunung, mereka menilai Kilimanjaro paling mudah ditaklukkan karena hampir sama dengan gunung di Indonesia,”Ada hutan tropis, savana dan pasir,” kata Ian. Berbagai macam pengalaman dirasakan oleh empat personel ini.
Broery mengaku banyak mendapatkan kesabaran dalam menghadapi masalah, lebih matang dan tidak mudah panik; sedangkan Janatan lebih suka merenung di ketinggian. ”Kalau di keramaian kota menuju lokasi puncak malah tidak bisa melakukan perenungan,” kata mahasiswa akuntansi yang disapa Pleco ini.
Acara yang dibuka oleh sambutan Rektor Universitas Parahyangan, Prof. R.W. Triweko, ini diisi dengan pemutaran film sepanjang tim melakukan ekspedisi serta dihadiri para mahasiswa alumni, dan pihak sponsor selama ekspedisi pada 2009 - 2012.
ARTIKEL TERKAIT: