Di usianya yang tak lagi muda, matanya masih sigap dari kejauhan mengawasi kelengkapan pendaki yang ia jaga.
Urat urat muncul di kakinya yang berotot, kulitnya legam terbakar Matahari, kekuatannya dan kecepatannya yang luar biasa membuat malu pendaki pendaki muda yang terlalu bangga akan persinggahannya di tanah Dewi Anjani - termasuk saya sendiri.
Dengan segala perlengkapan berat dan logistik, ia selalu berlari di depan. Bukan karena ia tidak cukup sabar menunggu klien - nya yang berjalan lambat, tetapi ia ingin memastikan saat pendaki yang ia jaga sampai di pos, tenda sudah berdiri beserta makanan dan minuman hangat sudah siap tersaji.
Beralas sandal jepit, dengan gagahnya ia melaju bak tank perang. Hanya sebuah sarung yang melindunginya dari dinginnya cuaca pegunungan. Tak ayal, tenda yang ia gunakan hanyalah sebuah ‘bivak’ dengan terpal dan bambu.
Luar biasa, dengan segala beban itu ia tetap tersenyum. Menyapa setiap pendaki yang ia temui. Merekalah yang membuat keindahan Rinjani menjadi lebih berwarna.
Di padang savana yang luas, terlihat beberapa porter yang sedang membawa pikulannya. Masih dengan langkah tegap seperti tentara. "Mudah - mudahan lain waktu saya punya rezeki untuk kembali ke Rinjani dan mendaki bersama kalian," bisik saya perlahan.
ARTIKEL TERKAIT: