Kabar mengejutkan itu datang ketika hari masih pagi. Priyo teman lama, menelepon saya di kantor. "Man, tenaga Anda dibutuhkan. Ada anak hilang di Gunung Gede," Ujarnya terburu - buru.
Dengan lancar Priyo menceritakan informasi yang diperolehnya dari kumandang radio amatir. Dua puluh empat mahasiswa perminyakan FTM Universitas Trisakti ( Jakarta ) mendaki Gunung Gede. Lima belas orang kembali turun, tetapi sembilan orang tidak tersiar kabarnya.
Terus terang, tadinya saya agak segan menanggapi berita ini. Masalahnya, banyak laporan mengenai kasus serupa yang cuma menyesatkan saja.
Saya teringat kasus hilangnya Wawang, remaja berumur 19 tahun dari Cianjur. Puluhan orang terlibat dalam pencahariannya di Gunung Gede selama satu bulan.
Ternyata, pada saat yang sama Wawang sedang bersenang - senang di Jakarta. Rupanya, Wawang yang kesal lantaran dimarahi kakaknya ketika sedang mendaki bersama di Gunung Gede, diam - diam turun dan langsung pergi ke Jakarta.
Rasa segan didukung kenyataan bahwa mereka baru hilang satu hari. Pernah dulu, sekelompok mahasiswa tiba - tiba muncul di Cisarua setelah dinyatakan hilang selama tiga hari di Gunung Pangrango. Padahal, puluhan orang saat itu tengah sibuk merambah hutan untuk mencari mereka.
Rasa segan itu tiba - tiba berubah menjadi kekhawatiran ketika saya tiba di Cibodas malam itu. Tujuh orang yang hilang, hari itu dilaporkan sudah turun di Situ Gunung.
Berarti masih dua orang lagi yang belum kembali. Menurut ketujuh mahasiswa yang selamat itu, dua teman mereka terpisah dipuncak gunung.
Bekal mereka minim sekali, bahkan sama sekali tidak punya baju penghangat dan pelindung hujan. Padahal, hujan sekarang sedang musimnya, sehingga udara di gunung bertambah dingin.
Kini jelas sudah masalahnya. Rupanya mereka merencanakan mendaki Gunung Gede dari Cibodas. Hingga di Kandang Badak, seluruh anggota pendaki masih utuh, dua puluh empat orang.
Sembilan orang kemudian berangkat lebih dahulu meneruskan pendakiannya. Mereka tidak sadar, bahwa mereka telah salah memilih jalan setapak dan melanjutkan pendakiannya ke Gunung Pangrango.
Lima belas anggota pendaki yang lain, sesuai dengan rencana, berhasil mencapai puncak Gunung Gede. Akan tetapi, rencana mereka untuk turun lewat rute Gunung Putri dibatalkan. Mereka kembali turun lewat rute yang sama ketika naik.
Sementara itu, sembilan orang yang "terlempar" ke Gunung Pangrango tercerai berai menjadi tiga kelompok.
Husin Baridwan, Handoko Soegito ( Hengky ), dan Robby Bentas Dirgantoro tiba terlebih dahulu di puncak Gunung Pangrango. Husin kemudian kembali turun untuk menyusul rekan - rekannya yang belum tiba.
Hengky dan Robby memutuskan untuk mencoba menuruni satu lintasan yang mengarah ke barat daya ( rute Gunung Masigit - Situ Gunung - Cisaat ). "Kalau dalam setengah jam kamu nggak kembali ke puncak, berarti jalanya betul," pesan mereka kepada Husin.
Rupanya mereka mengira bahwa yang didaki masih Gunung Gede, sehingga sesuai dengan rencana semula mereka mencari jalan rute Gunung Gede - Gunung Putri.
Ketika Husin dan rekan - rekannya yang lain tiba di puncak, mereka tidak melihat lagi Hengky dan Robby. Mereka memutuskan untuk menuruni satu lintasan ke arah Lembah Mandalawangi.
Di sini mereka masih sempat berfoto - foto dan mengambil air di ujung selatan lembah tersebut. Kemudian, mereka naik kembali ke puncak dan mengikuti lintasan yang tadi dipilih oleh Hengky dan Robby.
"Ketika selesai menuruni enam punggungan gunung, kami tiba - tiba mendengar teriakan minta tolong di sebelah kiri," cerita Husin kemudian.
Mereka segera menyahuti teriakan tersebut, tetapi tak ada balasan lagi. Karena ragu - ragu, akhirnya mereka memutuskan untuk terus turun dan mengabaikan teriakan minta tolong tersebut.
Ketujuh mahasiswa itu tidak sadar, bahwa mereka lintasan yang jarang sekali dipakai. Lintasan di situ sangat buruk, jalan setapaknya sering menghilang tertutup semak.
Biasanya, hanya pendaki - pendaki "gila" dan berpengalaman saja yang memakai rute tersebut.
Betul saja, ketujuh mahasiswa yang miskin pengalaman mendaki gunung ini kalang kabut lantaran tak bisa melacak jalan setapak.
Untunglah, akhirnya, setelah bersusah payah dan menginap satu malam di jalan, mereka berhasil juga mencapai Situ Gunung.
Malam itu, saya ditunjuk menjadi koordinator pencarian kedua mahasiswa yang masih belum ditemukan itu. Istilah kerennya, menjadi koordinator missi SAR alias SMC ( SAR Mission Coordinator ).
Kepada rekan - rekan pecinta alam dan Orari ( organisasi amatir radio Indonesia ), saya katakan bahwa untuk sementara saya menerima penunjukan tersebut sambil menunggu pihak yang berwenang menangani masalah ini.
Malam itu juga, regu - regu pencari diberangkatkan dan mendaki Gunung Pangrango. Rekan - rekan Orari sibuk mengkoordinasikan pemakaian komunikasi radio.
Dipimpin Hasan Koesoema ( YB Ǿ AH ) dan Moeharto ( YC Ǿ EEP ), Orari memang berperan besar melancarkan koordinasi operasi SAR ini.
Besok paginya, tiba-tiba terdengar suara keras dari radio. “Hengky sudah ditemukan, tetapi sudah meninggal,” terdengar kabar bersuara gemetar.
Almarhum Hengky ditemukan terlentang di atas tumpukan sampah hanya sepuluh meter sebelah barat laut triangulasi puncak Gunung Pangrango.
“Saya gemetar dan Cuma bisa berteriak ketika melihat Hengky,” cerita Mulyono anggota PHPA ( Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam ) yang melihatnya pertama kali.
Dua orang rekan Hengky yang kebetulan sedang berada di posko ( pos komando ) langsung pingsan dan digotong ketika mendengar berita sedih itu.
Helikopter SAR AURI dari Semplak, Bogor, datang agak terlambat. Udara di sekitar Gunung Pangrango yang pagi tadi cerah sekali, kini sudah dikurung oleh awan tebal. Kerucut Gunung Pangrango yang indah itu tak terlihat lagi.
Kapten Hastanto, Pilot helicopter, terpaksa mendaratkan pesawat dan mematikan mesinnya di lapangan parker Cibodas untuk menunggu udara cerah.
Saya mencoba menjelaskan posisi Lembah Mandalawangi kepada Kapten Hastanto. Di sini rencannya kami akan menjemput jenazah Hengky.
Kira - kira pukul 15.00, udara sekitar Gunung Pangrango sedikit membaik. Awan tebal dan kabut memang masih tampak banyak, tetapi Kapten Hastanto akan mencoba menerbangkan pesawatnya dan mendekati Lembah Mandalawangi. Saya duduk dibelakang pilot, bertugas menunjuk posisi lembah itu.
Bentangan hutan tampak di bawah kami. Berkali - kali saya sudah mendaki kedua gunung dibawah itu, tetapi baru sekali ini saya “melompati”nya dari atas.
Pesawat meloloskan diri dari sergapan awan dan menyuruk di “kolong”nya. Kerucut Gunung Pangrango tiba - tiba tampak di sebelah kanan.
Kapten Hastanto mencoba menambah ketinggian dengan memutarkan pesawatnya menjauhi Gunung Pangrango.
Tetapi ketika pesawat mendekati kembali gunung itu, awan tebal sekali mengurungnya kembali sehingga tak tampak lagi. Kapten Hastanto kini mengelilingi Gunung Gede Dan Pangrango, mencoba mencari peluang untuk mendekati Lembah Mandalawangi.
Tetapi, “wah, kita tak mungkin menembusnya. Terpaksa kita kembali dik,” ujar Kapten Hastanto.
Kini diputuskan agar jenazah Hengky dibawa saja lewat darat. Saya mengusulkan agar evakuasi itu dilakukan oleh penduduk setempat.
Masalahnya, penduduk jauh lebih kuat dan sudah terbiasa turun dan naik gunung. Lagi pula, tenaga - tenaga yang ada di atas masih diperlukan untuk mencari Robby.
Sebanyak 14 orang penduduk setempat diberangkatkan malam itu juga. Beberapa di antara mereka sudah pengalaman menurunkan pendaki yang tewas di Gunung Gede.
Pukul 22.30 regu evakuasi mulai menurunkan Hengky almarhum. Saya setengah tidak sadar, karena menahan kantuk, ketika pukul 04.00 jenazah Hengky tiba di Cibodas.
Suara sirene ambulans segera memecah kesunyian subuh itu. Kegaduhan membangunkan orang - orang di sekitar.
Dan… bermunculanlah “pahlawan - pahlawan” di sekitar ambulans. Mereka membawa jenazah itu ke Puskesmas Cimacan untuk dibersihkan. src
ARTIKEL TERKAIT: