Keduanya mendaki Ancocagua, di Argentina pada tanggal 11 Maret 1992. Pendakian ini merupakan rangkaian dari ekspedisi tujuh puncak dunia yang dilakukan Mapala UI. Sebelumnya tim Mapala UI telah menempuh perjalanan dari Cartenz Pyramid, Kilimanjaro, McKinley dan Elbrus.
Namun gunung tertinggi di Amerika Selatan ini mengakhiri impian keduanya untuk menjadi seven summiter pertama Indonesia. Keduanya juga harus kehilangan nyawanya hanya beberapa ratus meter menjelang puncak Ancocagua.
Diduga badai yang bertiup hingga kecepatan 420 km / jam dan suhu yang turun hingga minus 42 derajat celcius menjadi penyebab melemahnya kondisi kedua pendaki ini. Suhu ekstrim inilah yang membuat Aconcagua sering dijuluki 'Iblis Pegunungan Andes'.
Jenazah Didiek Syamsu lebih dahulu ditemukan pada tanggal 24 Maret 1992, sedangkan Jenazah Norman Edwin baru ditemukan tanggal 2 April 1992. Butuh berhari - hari sebelum jenazah keduanya bisa dievakuasi.
Kematian keduanya ternyata tidak menyurutkan langkah Indonesia untuk terus mengibarkan Merah Putih di puncak tertinggi dunia. Ekspedisi Gabungan Kopassus dan sipil berhasil mengibarkan Merah Putih di Puncak Everest pada tahun 1992.
Dan setelahnya, Clara Sumarwati juga telah menginjakkan kakinya di tingginya atap dunia, Everest pada 26 September 1996. Namanya dan tanggal pencapaiannya tercatat antara lain di buku - buku Everest karya Walt Unsworth ( 1999 ), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner ( 1999 ) dan website EverestHistory.com, sebuah referensi andal akan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendakian gunung di dunia.
Sampai saat ini pun ekspedisi tim Indonesia masih terus berjalan dan terus berniat untuk menjejakkan kaki di puncak tertinggi dunia dan meneruskan tradisi Seven Summits.
Kematian Pungkas, Norman Edwin Dan Didiek Syamsu serta banyak lagi pendaki gunung Indonesia seakan menjadi pengingat bahwa ada yang lebih kuat dari obsesi manusia. Gunung itu sendiri.
ARTIKEL TERKAIT: