Jati diri adalah sebuah kondisi dimana akal dan hati bersepakat melakukan sesuatu untuk mencapai sebuah tujuan. Terus dimana hubungan antara jati diri dengan pendakian gunung?
Pendakian gunung adalah salah satu cabang olahraga outdoor yang terbilang ekstrem, karena pendaki dihadapkan dengan kondisi yang sulit; makanan dan minuman terbatas, cuaca tak tentu, serta terdapat ancaman/keadaan yang tidak terduga.
Tetapi perlu diingat, bahwa keadaan seperti itu merupakan keadaan yang memang dituju oleh pendaki itu sendiri. Bahwa mereka memiliki pilihan, untuk tidak berangkat mendaki. Benar?
Jika kita jujur, kehidupan nyata yang kita hadapi adalah sebuah kondisi dimana kita tidak tahu bagaimana dan seperti apa yang akan terjadi.
Sebenarnya, dari kondisi nyata seperti itulah, kita ditempa dan diberi pelajaran serta pengalaman dalam penemuan jati diri yang hakiki.
Coba kita bermain logika waktu, bahwa kita mendaki gunung rata - rata adalah dua hari per gunung. Kita asumsikan, bahwa kita mendaki dua sampai tiga gunung selama satu bulan, jadi ada enam hari untuk mendaki gunung dan tersisa 24 hari lainnya.
Mana yang sebenarnya lebih lama kita hadapi? Kehidupan di gunung atau yang tersisa? Jawabannya sudah jelas bukan?
Memang benar, bahwa gunung merupakan tempat yang ‘steril’ dari berbagai keadaan yang ingin kita hindari.Sehingga kita benar - benar bisa fokus, akan apa yang kita niatkan dan tujukan dalam pendakian.
Tetapi, pendakian bukan ditujukan untuk merubah keadaan, melainkan untuk sejenak menenangkan pikiran dalam naungan alam.
Mendaki memang merupakan kegiatan yang menarik untuk kita jalani, tetapi ingat; “hidup tidak hanya untuk mendaki, tetapi mendaki membuatkan kita lebih hidup!”
Pahami dan mantapkan niat kita, sebelum melakukan pendakian. Karena gunung, bukan tempat mencari jawaban dan merubah keadaan.
Budi Kusriyanto
bkusriyanto@gmail.com
085.729.552.788
FB: Budi Kusriyanto
Twitter: @Budikusriyanto
IG: @Budikusriyanto
ARTIKEL TERKAIT: