Sebelum berziarah ke alam bebas ( gunung, belantara, padang sabana, sungai ), mahasiswa pecinta alam biasanya membangun menara berbentuk tebing di sekitar kampus. Menara dari bahan besi beton, papan, kayu itu dirancang mirip lereng gunung atau tebing sungai.
Hampir setiap hari, mereka melatih keterampilan mendaki gunung di menara itu. Mereka menggenjot ketahanan fisik, mental pantang menyerah dan keberanian dalam menghadapi risiko. Pencinta alam ini umumnya memiliki ciri hampir sama.
Berperilaku agak "nyeleneh", rambut gondrong, pakaian "kumal" ( acak - acakan ), sepatu butut dan jarang membersihkan diri.
Pakaian khas mereka ( jaket ) seringkali dilabeli tulisan: "Sang Penakluk Alam", "Sang Musafir Abadi", "Mahasiswa Pemberani," dll. Konon, tulisan itu bisa menambah semangat kepahlawanan mereka ketika menjelajahi alam bebas.
Benarkah mereka sungguh - sungguh mencintai alam dan lingkungan?. Saya sering mengamati kegiatan mahasiswa pecinta alam baik waktu di kampus ataupun waktu berada di alam bebas.
Semula saya berpikir, mahasiswa pecinta alam sungguh mencintai alam. Namun setelah beberapa kali melihat kegiatan mereka di alam pikiran pun berubah 180°.
Ternyata, mereka bukan pecinta alam. Ada memang mahasiswa yang benar - benar mencintai alam tapi persentasenya 1 banding 1000, tak percaya?
Coba ingat - ingat kapan terakhir kali kamu ke gunung atau hutan, apakah kamu bawa pulang kembali sampah yang kamu buang di hutan dan di gunung ?
Lingkungan hidup kita tidak hanya dirusak oleh penebang liar dan konglomerat ( pengusaha kayu ), tapi juga oleh para mahasiswa yang mengaku "pecinta alam" itu.
Mereka buang kotoran ( berak dan kencing ) di sungai, puncak gunung, hutan, dan sebagainya. Bahkan sisa makanan berikut bungkusnya, kertas koran dan botol plastik dibiarkan berserakan di tengah hutan atau aliran sungai.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, kalangan "pecinta alam" belum pernah menyelamatkan lingkungan hidup. Sebaliknya, kegiatan mereka justru dapat merusak alam.
Sebab, ketika berjalan di tengah hutan, lereng gurung atau pinggir sungai, selalu ada tumbuhan kecil yang diinjak, ditebas dan dipatahkan.
Malahan "pecinta alam" ini acapkali membuat api unggun di tengah hutan. Ironisnya lagi, mereka suka berdisko ria mengitari api unggun di kegelapan malam, sehingga memperparah kerusakan lingkungan.
Gunung Slamet dulu terkenal bukan cuma karena jalur pendakiannya yang menantang, tapi juga karena keindahan alamnya.
Tapi coba sekarang tengok, Gunung Slamet sekarang merana, tak ubahnya seperti tempat pembuangan sampah di pasar, dan yang lebih parah, kebakaran demi kebakaran sering terjadi dan tidak pernah mendapat penanganan serius.
Sehingga yang dulu tampak hijau dan indah di pandang sekarang tinggal dahan dan ranting pohon yang mengering.
Padahal dampaknya sangat terasa pada masyarakat di bawahnya.Seperti mengeringnya sumber air dan semakin banyaknya lahan tandus.
Sebagai bukti yang lain, kini Mount Everest menyandang gelar satu lagi disamping sebagai gunung tertinggi di dunia juga sebagai gunung paling kotor didunia yang disebabkan oleh sampah dan tabung - tabung oksigen sisa - sisa para pendaki.
Siapa penyebab semua ini? tidak lain mereka yang mengaku pencinta alam tapi sebenarnya tidak tahu hakekat mencintai alam.
Padahal untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem yang telah dirusak oleh mereka yang mengaku pencinta alam, membutuhkan waktu yang sangat lama, beratus - ratus tahun tahun bahkan mungkin ribuan tahun.
Kalau memang mencintai alam kenapa mesti harus ke gunung dan hutan ? sedang lingkungan disekitar kita sebenarnya lebih membutuhkan perhatian.
Mata air yang mulai mengering, pendangkalan sungai serta abrasi pantai adalah contoh yang mengundang perhatian para pecinta alam.
Tapi anehnya, kebanyakan dari pecinta alam tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Mereka malahan pergi ke gunung dan hutan dan melakukan kegiatan yang justru merusak lingkungan.
Padahal gunung, hutan asri, dan sungai yang bening tidak memerlukan kehadiran mereka.
Pencinta alam sejati semestinya berusaha mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Mereka akan berusaha menanam tumbuh - tumbuhan pada lahan - lahan kering, berusaha mengatasi tanah longsor, bahaya banjir, berusaha menyelamatkan flora dan fauna serta menentang perbuatan merusak lingkungan.
Memang boleh pergi ke hutan dan gunung, tapi jangan sampai meninggalkan bekas yang dapat merusak alam serta mengganggu keseimbangan ekosistem.
Dan jangan pernah membawa pulang apapun kecuali dalam bentuk foto dan untuk kepentingan Riset. Usaha - usaha itulah yang seharusnya menjadi fokus perjuangan para pecinta alam. Sehingga mereka tidak dicap"Pecinta Alam Gadungan".
Bukan menggurui, tetapi hanya menjadi kilas balik dan mengingatkan, bahwa jadilah orang yang mencintai dan peduli alam sekecil apapun. Jadikan simbol Pecinta Alam tak hanya suatu kebanggan semu. Ingatkan kami jika kami bersalah pada alam ini. Kami dan saya juga masih belajar menyelami alam ciptaan Tuhan untuk kita. Wujudkan!...Salam Rimba Indonesia!
ARTIKEL TERKAIT: