Kamis, 28 Oktober 2010 pagi, sebuah pengumuman menggema di seantero kampus Universitas Islam Indonesia. “Nanti pada pukul 09.00, jenazah Mbah Marijan akan disemayamkan di Aula Kahar Muzakir, masjid kampus UII. Bagi seluruh civitas akademik dan masyarakat sekitar yang ingin melaksanakan sholat jenazah dipersilahkan.”
Belantara Indonesia yang saat itu tengah berada di lokasi kampus UII segera meluncur ke masjid kampus. Di sana, banyak orang sudah berkerumun. Ada mahasiswa, civitas kampus, budayawan, kalangan agamawan, artis, pejabat, dan masyarakat sekitar hadir. Puluhan wartawan dalam dan luar negeri juga bersiap menanti kehadiran jenazah. Semua ingin memberikan penghormatan terakhir pada sosok sederhana yang mengagumkan tersebut.
Sekitar pukul 10.00 wib iring - iringan jenazah yang ditunggu pun tiba. Ada tiga mobil ambulance dan sebuah mobil jenazah polisi. Di belakangnya, puluhan mobil dan ratusan sepeda motor mengiringi. Belantara Indonesia berdesakan dengan para wartawan yang sibuk mengabadikan momen demi momen persemayaman tersebut. Semua asal mengambil gambar, hingga seorang bapak berseru, ”Jenazah Mbah Maridjan yang di dalam mobil polisi!”
Kontan kerumunan langsung mengarah ke mobil polisi. Beberapa orang satpam dan polisi langsung membuat pagar manusia untuk melancarkan jalan masuk. Sebuah peti berwarna putih pun diusung keluar dari mobil. Di depannya, seorang pemuda memegang papan nama jenazah : ”Mas SoeraksoHargo ( MARIDJAN ), usia 83 tahun, wafat 26 - 10 - 2010”
Menyusul di belakangnya, tiga peti lain yang serupa. Tak ada yang khusus dari peti mati Mbah Maridjan dibanding peti-peti yang lain. Sama saja. Keempatnya segera dijajarkan pada arah kiblat. Imam sholat menjelaskan satu per satu identitas keempat jenazah tersebut, yaitu Mbah Maridjan dan kerabat serta tetangganya.
Segera saja nyaris tanpa dikomando, lautan manusia dalam aula membentuk shaf-shaf sholat yang rapat. Menariknya, diantara jama’ah sholat tersebut ada pula bhiksu budha, kong hu cu, ikut larut dalam do’a bersama yang dipanjatkan bagi keempat jenazah.
Direktur Utama PT Sido Muncul, Irwan Hidayat, tampak hadir diantara rombongan pengantar. Kepada wartawan, dia menuturkan kesannya terhadap sosok Mbah Maridjan. ”Dia itu, besar ya jiwanya. Jaman sekarang banyak orang yang menjilat - jilat ke atas. Tapi dia tidak, dia sangat menyanjung semua orang, baik itu yang di atas maupun yang di bawah. Juga sederhana ya, tidak tergoda hal - hal yang bersifat duniawi. Saya banyak belajar dari Mbah Maridjan ini.”
Sekedar informasi, Mbah Maridjan pernah menjadi ikon sebuah produk minuman energi produk dari PT Sido Muncul, bersama petinju Chris John. Mbah Maridjan didatangi secara langsung oleh Dirut PT Sido Muncul untuk membintangi produk minuman tersebut. Adapun honor dari iklan itu dibagi - bagikan oleh Mbah Maridjan kepada para tetangganya, serta dipergunakan untuk membangun masjid di depan rumahnya.
Usai disholatkan, seluruh jenazah langsung dibawa ke tempat pemakaman, yaitu Dusun Srunen, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Srunen terletak beberapa kilometer di bawah Dusun Kinahrejo, tempat kediaman Mbah Maridjan, yang kita ketahui bersama telah luluh lantak diterjang awan panas Merapi.
Perjalanan dari tempat persemayaman masjid kampus UII berlangsung selama satu jam. Sepanjang perjalanan, warga antusias menyaksikan di pinggir jalan. Iring - iringan yang mengantar terdiri dari puluhan mobil dan ratusan sepeda motor. Bahkan semakin lama semakin bertambah, karena banyak pula warga yang menyaksikan kemudian membuntuti rombongan dengan kendaraan pribadi masing - masing.
Sampai di lokasi, ribuan masyarakat berjubel ingin memberikan penghormatan terakhir dan rasa salut kepada almarhum atas keteguhannya mengemban tugas menjaga merapi. Di antara para pelayat tampak hadir pula beberapa orang terpandang sepeti rombongan ketua umum golkar Aburizal Bakrie, bupati Sleman Sri Purnomo, artis Doni Kesuma, Dirut PT Sido Muncul Irwan Hidayat, serta wakil dari kraton Yogyakarta, GKR Pembayun dan GBPH Prabu Kusumo. Tidak ada upacara khusus di sana. Pemakaman dilaksanakan seperti masyarakat biasa pada umumnya.
Demikianlah kesederhanaan sosok Mbah Maridjan hingga akhir hayat. Usai sudah kisah pengabdian sang juru kunci Merapi. Banyak yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Bagi para penduduk di lereng Merapi maupun para pendaki, sosok Mbah Maridjan memberikan ketenangan dan kedamaian. Banyak petuah beliau tentang bagaimana kita harus menjaga alam dan keseimbangannya. Jangan merusak, jangan mengotori.
” Kagem tiyang Jawi, menawi Merapi sek wonten gawe, ampun dianggep bencana. Niku Merapi lagi mbangun, kagem kito sedoyo " ( Bagi orang Jawa, kalau Merapi sedang ada hajat, jangan dianggap bencana, itu Merapi sedang membangun untuk kita semua ),” tutur beliau pada sebuah kesempatan. Tentu kita semua tahu, limbah vulkanik Merapi menyuburkan tanah di sekitarnya. Sedangkan muntahan material pasir Merapi, merupakan pasir kualitas A, yang sangat baik untuk membangun perumahan. Pasir Merapi juga memberi penghidupan bagi warga sekitarnya.
Kualitas kesuburan tanah mengalami penurunan kualitas jika dipergunakan secara terus menerus. Limbah vulkanik Merapi mengembalikan kadar kesuburan tersebut. Sedangkan muntahan material pasir, meremajakan serta menambah stok pasir baru bagi para penambang. Maka tidak berlebihan jika letusan Merapi disebut sebagai ”sedang membangun”. Menyediakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia — tanah subur untuk makan, pasir kualitas tinggi untuk perumahan. Letusan Merapi membangun kehidupan manusia.
Di kesempatan yang lain beliau juga berkata ” Lha nek kulo ngungsi mangkeh tuwas namung dikeploki cah cilik ( lha kalau saya mengungsi nanti cuma ditepuk tangani sama anak kecil ). ” Dikeploki cah cilik dapat dimaknai sebagai penghinaan. Mbah Maridjan malu melanggar amanah dari kraton untuk menjaga Merapi. Beliau sudah sanggup menjadi juru kunci, artinya sudah siap dengan segala resikonya. Ksatria tidak akan meninggalkan medan tempur, dan itulah yang dilakukannya.
Saya risi ketika ada seorang mahasiswi berkomentar ” Bandel sih, disuruh turun nggak mau. ” Bukan itu intinya. Ini adalah tentang nilai dan moral. Seandainya Mbah Maridjan adalah orang biasa, tentu beliau juga dengan senang hati meninggalkan Merapi. Namun kesanggupannya dalam menjaga amanah Sri Sultan Hamengkubuwono IX-lah yang menyebabkan kakinya kukuh tak bergeming dari rumahnya.
” Kowe tak dadekke kuncen ono ing Merapi, kuwi artine kowe kudu njogo menowo ngguwang sampah ojo nganti liwat seko dalane ". ( Kamu saya jadikan juru kunci di Merapi, itu artinya kalau membuang sampah ( memuntahkan lahar ) jangan sampai lewat dari jalurnya ( jangan sampai mengenai keraton Jogja dan masyarakatnya ).” Demikianlah Mbah Maridjan menuturkan Sabdo Pandito Ratu ( sabda raja ), yang diterima Raden Mas Ngabehi SoeraksoHargo atau Mbah Maridjan dan dipegang teguh hingga akhir hayatnya.
Mbah Maridjan lahir, besar, meninggal, dan dimakamkan dalam pelukan Merapi. Sosoknya adalah simbol keteguhan dalam mengemban amanah dan pengabdian. Sesuatu hal yang harus dicontoh seluruh masyarakat dan terutama para pemimpin negeri ini. Dan sebelum tubuh terbalut kain kafan tersebut dimasukkan ke liang lahat, sekali lagi pemimpin upacara pemakaman bertanya pada seluruh pelayat yang hadir, ”Mbah Maridjan sae nopo awon sedherek sedoyo?” ( Mbah Maridjan orang baik atau jelek saudara semua? )
”Sae...!!!!” ( baik ) seru ribuan orang di sana.
Di tulis oleh Divisi Psikologi Belantara Indonesia , Indiah Wahyu Andari
ARTIKEL TERKAIT: