Di antara banyak kenangan bersamanya, kenangan di Semeru tidak akan terlupakan oleh salah satu karibnya, Herman Lantang, yang juga salah satu saksi sejarah Soe Hok Gie yang kini masih ada.
Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969.
Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut , pos terakhir sebelum puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing - puing kayu yang tertutup abu licin.
Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka Bivak ( rumah sementara di alam bebas ), mereka rehat.
Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.
Herman Lantang di Jayawijaya Juli 1981 |
Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore.
Angin kencang, dan tiba - tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie.
Tiba - tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta - ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman.
Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang - regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis, keponakan Mochtar Lubis juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik.
Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak -banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie.
Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol - ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
ARTIKEL TERKAIT: