Perjalanan ke gunung kemarin. Pingsan. Aku limbung dalam perjalanan dari Basecamp menuju New Selo. Sebenarnya wajar, setelah pulang dari Jakarta dan memaksakan diri ke Basecamp, semalaman kurang tidur, pagi yang disibukkan dengan membeli bekal dan packing, dan dilanjutkan perjalanan bermotor ke Selo. Dan ini kesalahan utama—membawa ransel dalam perjalanan dari Basecamp Barameru ke New Selo. Padahal itu track paling menguras tenaga dan—sayangnya—aku sangat tahu itu.
Hal terakhir kuingat adalah aku menyandarkan ransel di pagar jembatan pinggir jalan, lalu dunia berputar. Sejenak aku ingat mimpi, badanku terasa ringan, nyaman. Dan saat membuka mata, baru ingat kalau sedang ada di gunung. Cukup lama juga aku pingsan—kata teman - teman, 5 menit. Ini pengalaman pertama pingsan dalam hidupku, rasanya sangat tidak nyaman.
Lanet melarangku untuk melanjutkan perjalanan. Tadinya mencoba bersikukuh, tapi lama -lama—baiklah. Tubuhku lemas, perutku mual. Mas Fadil datang mendekati dengan khawatir. Ikut melarang juga. Pandi menelpon teman - teman yang menunggu di Basecamp, lalu Mas Antok menjemput dengan motor tua entah milik siapa. Aku pun kembali ke Basecamp.
Sempat duduk di beranda dengan Jeng Suci, dia sudah khawatir karena aku tidak pernah mengalami drop fisik semacam itu. Dan memang kemudian aku muntah banyak sekali. Tubuhku sangat lemas. Dan pilihan untuk tidak melanjutkan perjalanan ternyata sangat tepat. Setelahnya badanku kejang dan kaku. Aku tinggal bisa menarik nafas. Jeng Suci, Mas Didied, dan Mas Antok sudah panik.
Aku sudah tidak peduli mereka mau melakukan apa padaku. Aku hanya mempertahankan nafas. Semakin lama semakin berat. Sempat terpikir apakah ini akhir waktuku? Lalu terbayang semua yang kulakukan seminggu terakhir ini. Aku jarang menyediakan waktu untuk keluarga. Bapak, Ibu, aku disibukkan oleh diriku sendiri. Tidak memberi kabar jika bepergian.
Di tengah nafasku yang semakin berat, aku belajar satu hal yang terlupa : aku punya batas. Selama ini kupikir diriku cukup tangguh. Ternyata lebih karena aku tidak mengenal sampai dimana kemampuan dan kekuatanku.
Hingga seorang pendaki menyarankan untuk memasukkan air panas ke dalam termos dan membungkuskan ke tubuhku. Ah, pelan - pelan kejangku berkurang dan kembali normal. Hanya memang sungguh lemas sekali. Terharu juga pada perjuangan Mas Didied, Mas Antok, dan Jeng Suci menyelamatkan hidupku. Menghindarkan dari Hipotermia.
Kami pun kembali tertawa. Setelah semalaman sulit tidur dan pagi harinya semua HP yang dititipkan pada kami alarmnya menyala. Dan yang membuat senewen adalah kami tidak tahu cara mematikannya. Hahaha… pagi yang menyebalkan.
Tapi semuanya berakhir indah. Ketika pagi hari melihat Merapi dan Merbabu yang cerah dan cantik serta awan - awan yang bergulung di lembah bawah. Mengingat kembali kejadian semalam. Menatap Matahari terbit, dan tersenyum menyadari Tuhan masih memberi kesempatan.
Waktuku belum habis, Merapi telah menaklukanku dengan anggun. ( Indiah Wahyu Andari )
ARTIKEL TERKAIT: