Seorang relawan di tengah sayup - sayup raungan sirine tanda bahaya, niatnya terhenti di barak pengungsian Umbulharjo, sekitar lima kilometer menjelang Kinahrejo. Kepanikan melanda. Sejumlah warga menangis histeris kehilangan kontak dengan sanak keluarga. Yang ada di pikiran hanya bagaimana menemukan orang - orang hilang itu dalam kondisi selamat. Mereka menantang maut di tengah muntahan awan panas Merapi yang belum tuntas. Sejauh mata memandang, hanya ada tarian api melumat pepohonan, kendaraan, juga bangunan. Bertabur abu pekat, dusun itu hancur. Bangunan terbakar. Pohon bertumbangan. Tubuh - tubuh tak bernyawa bergelimpangan di jalan masuk dusun. Lamat - lamat, rintihan memilukan terdengar. Hanya berpelindung masker hidung, mereka menerobos ‘neraka’ di hadapan mata. Seperti bermain petak umpet dengan maut, relawan harus siap dengan perhitungan resiko mengancam jiwa. Tak jarang mereka tewas di medan bencana. Meski begitu, bukan ancaman nyawa yang membuat relawan ciut, tapi justru pemandangan menyentuh hati. " Saya paling nggak tega kalau melihat jasad wanita dalam kondisi memeluk anak. Tentara saja banyak yang nggak tega mengevakuasi," kata seorang relawan. " Ini banyak kami temui di Merapi dan gempa Yogya ".
Seorang relawan bernama Ariyo Faridh, yang terlibat memulihkan trauma anak-anak korban bencana di sejumlah daerah. Ia terjun ke sejumlah medan bencana seperti Aceh, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, Situ Gintung, dan Merapi. " Saya terlibat melalui terapi dongeng untuk anak-anak," ujarnya. Setiap kali mendengar bencana besar, Ariyo segera mencari 'kendaraan' seperti lembaga swadaya agar mudah menjangkau korban bencana. Demi panggilan jiwanya, ia tak sungkan membolos kerja, atau cuti untuk menghibur anak-anak korban bencana. " Saya kecanduan cari pahala," ujarnya sambil tertawa.
Kedekatan emosional dengan korban bencana juga membuat Ariyo tak kuat menahan haru. Saat itu sepucuk surat hinggap di rumahnya di Jakarta. Surat itu dari bocah korban bencana tsunami Aceh yang masih berusia empat tahun. Isinya cuma satu kalimat: ‘abang, kelinci jangan lupa kasih makan wortel’. “Anak itu sepertinya lekat dengan tokoh kelinci, dari dongeng yang saya bawakan dulu,” ujar Ariyo.
Menolong tanpa pamrih, para relawan ini layaknya sayap - sayap para malaikat yang turun di tengah bencana. Mereka tak lelap meski lelah. Mereka bekerja dalam diam, dan ikhlas. Rasanya tak berlebihan kita menyebut mereka sebagai pahlawan.
ARTIKEL TERKAIT:
Inspirasi
- Ternyata Air Lebih Mahal Dari Emas
- Rindu Gunung Yang Dulu...
- Pendaki Era 90 an, Penuh Perjuangan
- Jangan Salah Pilih Teman Pendakian Gunungmu!
- Norman Edwin Quotes
- Tips Seru Petualangan Dengan Anak
- Inilah Sensasi Saat Mendaki Gunung
- Ingin Sahabat Sejati? Carilah Di Hutan Belantara
- Berilah 'Kelas Alam' Bagi Si Kecil
- 10 Lagu Wajib Nasional Indonesia Yang Menggetarkan Hati
- Romantisnya Mendaki Gunung Dengan Pasangan
- Mengharukan: Demi Anak, Seorang Ayah Jual Pena
- 70 Kali Dalam Sehari Maut Dekat Dengan Manusia
- Menikmati Pemandangan Alam Adalah Hak Kita, Tapi....
- Mendaki Gunung Tidak Akan Merubah Apapun!
- Inilah Masjid Portable Yang Pertama Di Indonesia
- Tips Berwudhu Di Alam Bebas
- Tips Packing Yang Tepat Untuk Mendaki Gunung
- Modal Utama Pendakian Gunung: Niat Belajar Dari Alam
- Menjadi Pendaki Yang Cerdas
- Gunung, Racun Yang Menyembuhkan!
- Sang Pemberani Yang Masuk Dalam Kawah Merapi
- Jatuh Cinta Paling Indah Itu Di Puncak Gunung
- Izinkanlah Aku Mendaki Gunung, Sekali Ini
- Dari Gunung Untuk Para Pendakinya