Kebakaran hutang dan sebagainya. Orde Baru juga berhasil menumpulkan daya kritis pecinta alam terhadap Undang - undang ( UU ) dan Peraturan lainnya yang sebenarnya berpotensi besar merusak alam.
Akibatnya, pecinta alam lalai dengan masalah alam dan apatis terhadap aktivitas politik yang berkaitan dengan alam. Parahnya lagi, banyak pecinta alam yang malah beranggapan, pecinta alam yang baik justru tidak bersentuhan dengan politik. Mereka ke alam justru untuk menjauh dari hingar bingar politik. Di mata mereka, politik dan pecinta alam merupakan dua hal berbeda yang haram disatukan.
Padahal, masuk ke wilayah politik dan juga demonstrasi hakekatnya bukan hal asing bagi pecinta alam. Karena Soe Hok Gie, yang merupakan kakek moyang pecinta alam adalah seorang demonstran tulen, aktivis mahasiswa yang cerdas, kritis, berani, peduli kepada rakyat dan sangat patriot.
Jika ada penyelewengan, Soe Hok Gie langsung cepat beraksi. “Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”, begitu yang sering diteriakannya.
Pecinta alam ke gunung bagi Soe Hok Gie, bukan karena menghindar dari carut - marut politik. Pecinta alam ke gunung justru karena tak percaya dengan slogan - slogan kosong dan hipokrasi ( kemunafikan ). Dengan kata lain, ke gunung merupakan sikap “perlawanan” pecinta alam terhadap slogan dan kemunafikan tersebut.
Pecinta alam punya cara sendiri untuk membangun karakter bangsa ( National building character ), yaitu dengan mengenal Indonesia dan rakyatnya secara langsung. Kata Soe Hok Gie :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan - slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Hebat betul metode Soe Hok Gie membangun karakter bangsanya. Metodenya bukan hanya cespleng menumbuhkan patriotisme, mengenal langsung kehidupan bangsa, melainkan sekaligus menyehatkan generasi muda secara fisik dan mental.
Pemikiran Soe Hok Gie memang terkenal kreatif, jauh ke depan dan berbeda dari yang lain. Itulah yang membuat pikiran – pikirannya banyak mempengaruhi gerakan mahasiswa yang akhirnya berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Lama.
Di masa peralihan kekuasaan itu, mudah saja bagi seorang Soe Hok Gie bergabung di barisan Orde Baru lalu menghamba kepada Suharto dan kemudian hidup nyaman. Namun karena Orde Baru dinilainya tak lebih baik dari Orde lama, Soe hok Gie kembali bereaksi keras. Soe Hok Gie yang merupakan eksponen 66 – seangkatan dengan Akbar Tanjung, Cosmas Batubara dll — termasuk aktivis pertama yang berani mengkritik habis - habisan Orde Baru.
Soe Hok Gie memang terkenal konsisten terhadap prinsip perjuangannya. Baginya, lebih mulia ”menjadi pohon oak yang berani menentang angin daripada menjadi kawanan pohon bambu”. Sekawanan bambu walaupun banyak tapi mudah doyong padahal hanya ditiup angin sepoy.
Ia tak peduli siapa yang berkuasa, jika menyeleweng, akan dilawannya. Ia tak takut ancaman. Tak pula gentar kendati harus berjuang sendiri. Bagi Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”
Sayangnya, Soe Hok Gie pergi terlalu cepat. 16 Desember 1969,Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya di tanah tertinggi di Pulau Jawa, Puncak Semeru. Namun, nilai - nilai patriot yang ditinggalkannya tak ikut hilang. Spirit perjuangannya tetap berkobar di sanubari pecinta alam dan generasi muda Indonesia. src
ARTIKEL TERKAIT: