Menyikapi fenomena ini, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli di bidang pelestarian satwa liar bernama Pro Fauna mulai melakukan kampanye terkait keberadaan satwa liar di Indonesia. Dari beberapa kota yang disinggahi, Jogja merupakan salah satu kota yang tingkat kepunahan satwa liarnya perlu mendapat perhatian lebih. Kemarin belasan anggota Pro fauna melakukan aksi kampanye di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret ( SO 1M ) terkait gerakan pelestarian ini.
Selembar banner berukuran sekitar 3 x 4 meter bergambar suasana hutan dan berbagai satwa di dalamnya mereka bentangkan sebagai background dalam melakukan performance art. Lalu muncullah seorang wanita yang memakai kostum menyerupai burung kakak tua menari - nari diiringi alunan musik bertemakan alam yang dibawakan oleh kelompok band reggae Jogja bernama Marapu. Aksi ini bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa kepunahan satwa liar di Indonesia dan di Jogja khususnya, adalah masalah yang mengancam.
Selama ini masyarakat Indonesia dianggap kurang memberi perhatian terhadap keberadaan satwa liar ini. Begitu juga dengan masyarakat Jogja yang sebagian besar juga dianggap cuek dengan adanya satwa liar ini. Perdagangan satwa di Pasar Ngasem dan perdagangan sisik penyu di kawasan pesisir Jogja, merupakan beberapa contoh kepunahan satwa liar yang mengancam Jogja. Di Pasar Burung Ngasem dinilai sudah banyak penyimpangan karena ditemukan banyak pedagang yang menjual satwa liar secara diam - diam. Misalnya saja banyak pedagang yang menjual lutung, harimau, maupun binatang lain yang tergolong langka.
“Para pedagang tak menjualnya secara terbuka. Mereka hanya menerima order jika ada permintaan dari pembeli. Dan dari pengamatan kami beberapa waktu terakhir, ini sudah mulai banyak terjadi di sana,” ujar Ketua Pro Fauna Rosek Nursahid di sela aksi. Selain itu, perdagangan sisik penyu yang sempat marak di Pantai Baron beberapa tahun lalu juga menjadi perhatian tersendiri dari LSM ini. Penyu sebagai satwa liar, jumlahnya sudah semakin menipis.
Jika perdagangan sisik penyu semakin marak, tentu saja keberadaan penyu yang jumlahnya sudah sedikit itu akan habis. Maraknya perdagangan satwa liar, kata Rosek, juga dipicu oleh lemahnya fungsi aparat hukum yang mengaturnya. Meski sudah diatur dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, hampir dipastikan para pelanggar lolos dari jerat hukum yang mengancamnya. Padahal, sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar ini tak main - main, yakni pidana kurungan maksimal lima tahun. “Keadaan ini diperparah oleh banyaknya keterlibatan oknum aparat dan pejabat dalam perdagangan satwa liar. Sehingga praktik ilegal ini seolah - olah mendapat perlindungan,” imbuh Rosek.
Dalam kasus ini, Rosek mencontohkan Bupati Purworejo non aktif Kelik Sumrahadi yang belakangan diketahui memiliki harimau Sumatera. Terlepas dari legal atau tidaknya hak kepemilikan satwa liar tersebut, Rosek yakin bahwa di Indonesia banyak terjadi praktik kepemilikan ilegal satwa liar yang dilakukan oleh aparat maupun pejabat. “Ilegal maupun legal, entah dengan alasan apapun, kita tak diperbolehkan membeli, memiliki, dan memelihara satwa liar dan langka. Biarkan mereka hidup bebas di alamnya, demi kelangsungan hidup dan kelestarian jenis mereka sendiri,” tegas Rosek.
ARTIKEL TERKAIT: