Ada satu yang mengatasnamakan pecinta alam, mendaki gunung karena tertarik dengan cerita kawan lain, yang isi ceritanya sekedar curahan hati, bahwa gunung A pemandangannya bagus dan dia mencoba memicu emosional dengan kalimat: " Kalau kamu tak mendaki kesana, kamu pendaki kacangan ".
Kemudian pecinta alam jadi - jadian tersebut berangkat menuju gunung A tersebut dengan modal nekat, yang penting bisa menggapai puncak, apapun caranya. Setelah tergapai, dia kemudian dengan lantang akan meneriakkan pada kawan lain, bahwa aku pendaki sejati, puncak gunung A telah ku capai.
Banyak memang fenomena - fenomena petualang kita yang mendaki gunung, ber arung jeram dan aneka kegiatan alam terbuka lain yang hanya sekedar ikut - ikutan, tanpa tujuan jelas dan akan meninggalkan jejak langkah apa setelah petualangan tersebut.
Cobalah mulai kita ubah pandangan kita tentang petualangan. Petualang sejati adalah petualang yang memiliki hitungan program kegiatan yang pasti dan mempunyai persiapan matang dalam melakukan kegiatan. Tak hanya menjadi korban mode, bahwa aku harus sampai di sana karena yang lain sudah pernah kesana. Idiom yang salah.
Dan imbas selanjutnya, dalam berkegiatan dengan metode korban mode adalah hampir tak mempunyai rasa malu! Memang rasa malu kadang membuat kita enggan melakukan sesuatu, disadari atau tidak sifat malu adalah sifat dasar manusia, malu biasanya berasal dari keegoisan manusia ataupun bisa karena kekurangan seseorang akan sesuatu hal dalam dirinya.
Malu ternyata dapat membuat nyawa seseorang melayang di dalam hutan. Keegoisan untuk tidak menerima saran, bertanya atau minta pendapat kepada orang lain adalah sikap lain dari malu. Namun ketika kita malu terhadap penguasa alam, maka kita tidak akan seegois itu. Manusia, entahlah memang kadang manusia bisa sebuas binatang dan bisa sebaik malaikat.
Ketika sebuah malu adalah buah keegoisan maka tidak aneh bencana yang terjadi pada para petualang dalam melakukan petualangannya tidak sedikit yang memakan nyawa petualang itu sendiri. Kasus malu bertanya memang klasik tapi itulah keegoisan.
Kenapa kita harus malu ketika kita tidak mampu ?
Kadang saya malu kalau saya harus menyandang nama pecinta alam ketika alam yang katanya saya cinta semakin rusak. Kadang saya bertanya kenapa pecinta alam tidak pernah punya malu dengan nama pencinta alam jawabannya hanya satu keengganan mengakui diri sendiri masih banyak kekurangannya.
Lantas ketika alam sudah tidak ada dan lingkungan hidup semakin berkurang daya dukungnya kenapa masih banyak para pecinta alam yang tidak malu melakukan pendakian digunung yang sudah gundul, di sungai yang sudah tercemar bahkan tinggal didaerah yang sudah terpinggirkan akibat gedung - gedung mewah yang semakin hari semakin memakan wilayah kota.
Wilayah kota tidak bisa lepas dari pecinta alam, saat ini kadang terjadi pemisahan dalam wacananya, cobalah tengok hutan yang gundul biasanya jadi bahan perbincangan semua kalangan pecinta alam akan tetapi ketika hutan kota yang gundul bahkan semakin menghilang karena pembangunan sedikit sekali yang membicarakannya. Bukankah hutan kota juga alam yang harus dicintai oleh para pecinta alam ?
Malu kadang pula menyeret seseorang melakukan hal yang sangat berani ketika rasa malu ini diawali dari persepsi yang kuat akan dirinya. Karena punya malu dengan nama, pecinta alam akan berani menolak kehadiran penggangu alam yang dicintainya
Tidak ada rasa malu pula yang menyeret seorang pecinta alam melakukan hal hal yang memalukan di gunung, tempat wisata alam bahkan puncak gunung sekalipun, lihatlah bagaimana kasus vandalisme yang dapat dilihat di puncak gunung kalau bukan orang yang sering atau pernah naik puncak gunung, yang naik gunung siapa lagi kalau bukan para pecinta alam. Ini memang sebuah opini yang berkembang dimasyarakat lebih jauh lagi citra pecinta alam tidak lebih dari perusak alam
Diri pecinta alam harus punya malu dan harus tidak punya malu menyandang nama pecinta alam supaya tidak mati dihutan, namun siapkah kita ?
ARTIKEL TERKAIT: