Atau tebing tegak lurus menawan seakan minta dijamah, jeram deras yang tak pernah bisa berkompromi. Makin bergejolak ia, makin bergairahlah kita menyusurinya. Atau angkasa yang tak bertepi? Samudera yang dalam?
Ah, banyak sekali sudut - sudut dan bentang alam yang indah menawan, betapa beruntungnya manusia. Selalu begitu, di setiap perjalanan, di setiap kelelahan, jeda menuju klimaks, di situlah letak rasa itu.
Rasa yang… ah, sulit disimpulkan, tak ada kata yang dapat mewakili perasaan itu. Hanya ada gairah aneh saat energi itu kemudian akan menyusut lagi ditelan rutinitas kehidupan.
Begitu seterusnya, berulang - ulang. Foto - foto eksotis, cerita - cerita tentang heroisme, bahwa kita adalah sekumpulan manusia unik, berani, kuat perkasa dan tahu apa yang terbaik buat diri kita, berani menjadi beda.
Pada saatnya nanti alam kembali memanggil, berbisik dan terus mengganggu. Dan kita datang lagi, mencumbuinya lagi, terpuaskan lagi, pulang lagi.
Seperti candu yang tak pernah selesai. Seegois itukah aku? Sesederhana itukah hidup? Kalau hanya sesederhana itu, maka sebutan yang paling tepat adalah penikmat alam! Bukan “pecinta alam”.
Sekelompok orang tampak begitu sumringah, meski denyut jantungnya belum kembali beraturan. Satu puncak lagi berhasil gapai, dengan keringat mungkin juga dengan air mata.
Foto - foto eksotik pun sudah digenggaman, siap untuk dipamerkan. Dengan lantang mereka bercerita, betapa tangguhnya mereka menaklukkan setiap jejak medan.
Nafas yang memburu, otot yang melemah, kaki yang terus menanjak hanya cerita selingan diantara cerita - cerita indah mengenai pemandangan yang menakjubkan di atas sana.
Mereka yang tak pernah mengalaminya pun terperangah mendengar cerita itu. Perilaku itu pun turun menurun, seolah menjadi tradisi. Anggota lama bercerita kepada anggota baru.
Anggota baru bercerita kepada mereka yang belum menjadi anggota. Bahwa pemandangan itu indah, bahwa pemandangan itu begitu eksotik.
Kita pun kembali datang menyapanya, turun kemudian kembali lagi menyapanya. Begitu seterusnya, hasrat itu terasa tak ingin berhenti.
Orang - orang yang penasaran akan cerita - cerita itu pun turut serta, seolah ingin membuktikan mereka berani, mereka beda, mereka unik, mereka perkasa.
Apakah sesederhana itu? Bukankah hal itu berarti pendakian tak lebih dari hegemoni aktifitas rekreasi yang hanya berasa keindahan saja?
Tetapi untuk apa keindahan itu? Bila sang Bayu tak pernah dimengerti, sang embun tak pernah dipahami. Untuk apa embun menyelimuti punggung gunung, pernahkah kita bertanya akan hal ini?
Kita mengaku pecinta alam, namun begitu tega menjilat tanah dengan api, meracuni air dengan sampah, menebas pohon untuk mendirikan tenda. Apakah ini adalah bentuk cinta? Mengapa tak kau sebut saja dirimu seorang penikmat? src
ARTIKEL TERKAIT:
Inspirasi
- Ternyata Air Lebih Mahal Dari Emas
- Rindu Gunung Yang Dulu...
- Pendaki Era 90 an, Penuh Perjuangan
- Jangan Salah Pilih Teman Pendakian Gunungmu!
- Norman Edwin Quotes
- Tips Seru Petualangan Dengan Anak
- Inilah Sensasi Saat Mendaki Gunung
- Ingin Sahabat Sejati? Carilah Di Hutan Belantara
- Berilah 'Kelas Alam' Bagi Si Kecil
- 10 Lagu Wajib Nasional Indonesia Yang Menggetarkan Hati
- Romantisnya Mendaki Gunung Dengan Pasangan
- Mengharukan: Demi Anak, Seorang Ayah Jual Pena
- 70 Kali Dalam Sehari Maut Dekat Dengan Manusia
- Menikmati Pemandangan Alam Adalah Hak Kita, Tapi....
- Mendaki Gunung Tidak Akan Merubah Apapun!
- Inilah Masjid Portable Yang Pertama Di Indonesia
- Tips Berwudhu Di Alam Bebas
- Tips Packing Yang Tepat Untuk Mendaki Gunung
- Modal Utama Pendakian Gunung: Niat Belajar Dari Alam
- Menjadi Pendaki Yang Cerdas
- Gunung, Racun Yang Menyembuhkan!
- Sang Pemberani Yang Masuk Dalam Kawah Merapi
- Jatuh Cinta Paling Indah Itu Di Puncak Gunung
- Izinkanlah Aku Mendaki Gunung, Sekali Ini
- Dari Gunung Untuk Para Pendakinya