Pendaki Tua Menerjang Badai

Di Tengah hujan yang perlahan semakin deras, di ujung tebing di antara dua gunung, seorang pendaki tua berjalan sendirian dengan noda kepayahan di raganya. Sambil menentang badai dan di selimuti kabut, dia teruskan langkahnya dengan berjalan kecil - kecil. Dalam jalannya, pikirannya mengembara dan membawa banyak gambaran - gambaran tentang cucunya, anak - anak dan menantunya, kedai kopi dan kawan - kawan yang sering berkumpul disana, di pojokan jalan dekat rumahnya dan kemudian dia teringat almarhum istrinya. Puncak gunung itu semakin lama semakin samar, semakin kabur tertutup oleh kabut sore dan tirai hujan lebat yang turun sejak dua jam yang lalu.

Hari itu hari selasa di pertengahan bulan, hari pada saat bulan purnama sedang bulat - bulatnya. Dan Jalur itu sudah sepi dari pagi tadi. Jangan ditanya bagaimana dia bisa menaiki jalur tersebut. Jangan ditanya bagaimana dia bisa melewati pos perizinan mandor hutan tanpa ketahuan.

Meneruskan berjalan, pendaki tua itu kemudian berhenti sejenak duduk di balik batu besar di tengah jalur di ujung tebing yang berbatasan sebentar lagi dengan puncak sebuah gunung. Diambilnya dari dalam tas pinggangnya, termos berisi teh yang masih hangat, yang isinya tinggal separuh wadah.

Dalam duduknya, kembali berkelebat dalam pikirannya ingatan mengenai sepeda tuanya, buku-buku yang belum selesai dia baca, mesin ketik dan naskah surat pembaca yang belum sempat dia kirim ke harian lokal kotanya. Dan dia teringat kembali akan istrinya, almarhum istrinya. Pendaki tua itu berdiri lagi dan berjalan setelah memasukkan termos tua berisi teh hangat ke dalam tas pinggangnya kembali.

Gunung itu tidak terlalu tinggi, jauh lebih pendek dari gunung - gunung yang pernah didakinya ( beberapa bersama istrinya ) sewaktu dia masih muda, yang tidak kurang dari 3000 meter tingginya dari permukaan laut, tapi jangan ditanya darimana kekuatannya, jangan ditanya bagaimana dia mampu mendaki lereng gunung itu dengan beban di punggung, dengan lutut yang bergetar setiap 15 ( lima belas ) menit karena diterpa dinginnya angin gunung. Sambil dalam jalannya, dia mengenang kembali istrinya yang baru meninggalkannya tepat satu bulan yang lalu.


Istrinya adalah perempuan kabut yang terlihat sendu memenuhi udara, perempuan angin yang kadang tak terlihat tapi dapat dirasakan bisikannya di sekitar telinga dan dapat dirasakan kehadirannya di hatinya. Pipi pendaki itu kemudian basah, entah basah karena air hujan yang menerpa wajahnya, atau basah karena air mata yang menetes dari sudut matanya. Sambil dalam jalannya, dalam nafasnya yang tersengal, samar - samar dia melihat kembali punggungan lancip terakhir yang menjadi tujuan akhirnya.

Dengan tenaga yang tersisa dia percepat langkahnya yang bergetar, Mendoyongkan badannya kedepan, menantang angin dan hujan yang mendorongnya ke belakang seakan menyuruhnya kembali ke bawah, ke desanya dan kekumpulan manusianya.

Hari itu belum terlalu sore, matahari sudah di barat tetapi belum tenggelam. Langit masih merah dan belum berubah menjadi kelabu lalu hitam. Tapi dengan adanya hujan badai ini, putih kabut dan tebalnya tirai hujan serasa sama kaburnya dengan hitamnya malam. Tepat sebelum malam, sampailah dia di ujung tebing di puncak gunung yang tidak terlalu tinggi itu. Pendaki tua itu kemudian terduduk dan lalu menurunkan carrier dari punggungnya. Dia merogoh tas ranselnya itu lalu mengambil sebuah wadah kecil tanah liat dari dalamnya. Dia lalu membuka wadahnya, menjumput segenggam isinya dan lalu mengeluarkan serta mengacungkan genggamannya itu ke angkasa.

Dibukanya genggamannya dan kemudian berterbanganlah abu jasad istrinya dibawa angin, kabut dan hujan. Sisa abu dalam wadah tanah liat itu pun dia lepaskan dengan cara yang sama. Pipinya basah, entah basah karena air hujan yang menerpa wajahnya, atau basah karena air mata yang menetes dari sudut matanya. Pendaki tua itu lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tas pinggangnya. Dibukanya halaman tengah buku itu, dan lalu dikeluarkannya sebuah foto lusuh bergambar istrinya yang masih muda beberapa puluh tahun yang lalu dengan latar belakang yang sama seperti yang dilihatnya sekarang. Wajah istrinya dalam foto itu terlihat tersenyum tapi sendu. Rambutnya yang panjang berkibar, menutupi pipi sebelah kanannya, yang tertiup angin puncak gunung. Bedanya dengan waktu itu adalah, hari ini badai bertiup kencang, sedangkan dalam foto itu awan terlihat cerah dan matahari bersinar terang.

Di tengah hujan yang semakin menderas. Di puncak sebuah gunung. Seorang pendaki tua berjalan kepayahan sendirian. Sambil menantang dan menerjang badai kabut yang semakin dingin. Samar - samar bayangan tubuh renta pendaki tua itu menghilang tertutup kabut puncak bukit yang putih, dan memenuhi udara. ( Thanks Ipung )

ARTIKEL TERKAIT:

Alamat:

Labasan Pakem Sleman Yogyakarta 55582

Jam Kerja:

Senin - Kamis dari Jam 9.00 Wib to 17.00 Wib

Telepon:

0813 9147 0737

"Salam Rimba Indonesia"

Indonesia kaya akan keindahan alam dan tugas kita untuk menjaga sekaligus menikmatinya.

Kami, Para Sherpa selaku admin webblog Belantara Indonesia mengucapkan:
"Selamat menjelajah alam cantik Indonesia".

×